Pernikahan adalah akad di
antara manusia yang paling kuat, Allah yang mensyariatkannya dan menamakannya
dengan mitsaqan ghalidha, ikatan yang berat dan kuat, pernikahan menyeret hak
dan kewajiban yang merupakan konsekuensinya.
Perlakuan yang baik
Ini adalah pokok pangkal dari
seluruh hak istri atas suami, maksudnya adalah memperlakukan istri dengan baik
dan mulia, memperlihatkan wajah berseri, pergaulan yang lembut, tidak
menyakitinya, tidak menimpakan mudharat atasnya, tidak mengulur-ulur haknya
atau menunaikannya dengan berat hati. Allah hanya memberikan suami satu pilihan
dari dua perkara, “Tahanlah mereka dengan cara yang ma’ruf atau lepaskanlah
mereka dengan cara yang ma’ruf.” Al-Baqarah: 231.
Nafkah
Mencakup makan, sandang, papan dan kebutuhan dasar hidup lainnya di mana kehidupan tidak tegak lurus tanpanya. Allah berfirman, “Wajib atas bapak memberikan nafkah dan dan kiswah kepada mereka dengan cara yang ma’ruf.” Al-Baqarah: 233. Nabi shallallohu 'alaihi wasallam bersabda, “Dan bagi mereka atas kalian nafkah dan kiswah dengan cara yang ma’ruf.” Diriwayatkan oleh Muslim.
Nafkah adalah hak istri, bila suami tidak menunaikannya atau menunaikannya namun belum cukup padahal dia sanggup, maka istri berhak mengambil hak nafkah sekalipun tanpa izin suaminya, berdasarkan izin Nabi kepada Hindun istri Abu Sufyan.
Istri Mendapatkan Nafkah
Istri berhak atas nafkah bila:
Dia mengizinkan suami untuk
melakukan sesudah sahnya pernikahan, artinya bila pernikahan tidak sah atau
sesudah pernikahan istri belum berkenan, maka dia belum berhak atas nafkah.
Dia mematuhi suami, bila dia nusyuz, membangkang kepada suami, maka dia tidak berhak atas nafkah.
Kadar Nafkah
Ada dua sisi dalam
mempertimbangkan kadar nafkah. Pertama, kesanggupan suami, karena dia sebagai
pemberi nafkah, Allah berfirman, “Hendaknya orang yang mampu memberi nafkah
sesuai dengan kemampuannya.” Ath-Thalaq: 7. Kedua, kecukupan, sabda Nabi
shallallohu 'alaihi wasallam, “Ambillah apa yang cukup bagimu dan anakmu dengan
cara yang ma’ruf.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.
Kiswah
Kiswah, pakaian termasuk nafkah, karena hidup tidak tegak tanpanya, dalilnya adalah ayat dan hadits di atas. Bila suami memberikannya kepada istri, lalu terjadi talak atau istri wafat, maka kiswah tersebut adalah hak istri, suami atau kerabatnya tidak boleh menariknya kembali, karena ia telah diberikan sebagai hak istri, maka kepemilikan istri atasnya tidak gugur dengan talak atau wafat.
Kiswah
Kiswah, pakaian termasuk nafkah, karena hidup tidak tegak tanpanya, dalilnya adalah ayat dan hadits di atas. Bila suami memberikannya kepada istri, lalu terjadi talak atau istri wafat, maka kiswah tersebut adalah hak istri, suami atau kerabatnya tidak boleh menariknya kembali, karena ia telah diberikan sebagai hak istri, maka kepemilikan istri atasnya tidak gugur dengan talak atau wafat.
Sakan
Tempat tinggal, bila Allah menetapkan hak sakan bagi istri yang ditalak raj’i, maka istri yang masih dalam inti ikatan pernikahan lebih patut. Allah berfirman, “Tempatkanlah mereka di mana kamu bertempat tinggal menurut kesanggupanmu.” Ath-Thalaq: 6.
Karena sakan termasuk nafkah, maka kadarnya adalah kadar nafkah, kesanggupan suami dan kecukupan istri.
Keluarga Suami atau Istri
Istri tidak membawa
keluarganya tinggal bersama suami, kecuali bila suami mengizinkan, karena hal
ini merupakan hak suami. Suami tidak membawa keluarganya tinggal bersama istri,
kecuali bila istri berkenan, karena ini adalah hak istri.
Bila seseorang beristri lebih dari satu, maka masing-masing istri berhak atas rumah tersendiri, tidak mengumpulkan mereka dalam satu rumah, karena hal ini bukan termasuk memperlakukan istri dengan cara yang baik, namun bila kedua istri menerima dengan suka rela, maka itu adalah hak mereka. Rasulullah memberi contoh dalam masalah ini, Allah berfirman, “Wahai orang-orang beriman, jangan masuk rumah-rumah Nabi kecuali bila kalian diperkenankan…” Al-Ahzab: 53. Allah menyebutkan, ‘rumah-rumah’ bukan satu rumah.
Tanggung Jawab Agama
Sebagaimana suami memikul
tanggung jawab materi, dia juga memikul tanggung jawab agama dalam bentuk
mendidik dan mengajarinya perkara-perkara agama, mendorongnya untuk
mengamalkannya, mengajaknya beribadah, mengawasi dan meluruskan apa yang salah
darinya, karena hal ini termasuk tanggung jawab, “Jagalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka.” At-Tahrim: 6.
Nafkah Batin
Suami wajib menafkahi istri
secara batin, karena istri membutuhkannya sama dengan suami, dan salah satu
maksud pernikahan adalah menjaga dari yang haram, ini berlaku bagi suami dan
istri.
Rasulullah bersabda kepada
Utsman bin Mazh’un yang memilih berkonsentrasi kepada ibadah, “Sesungguhnya istrimu
mempunyai hak atasmu.” Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Karena hal ini
termasuk nafkah, maka ia dikembalikan kepada kesanggupan suami dan kecukupan
istri, tidak ada batas maksimal atau minimal, akan tetapi kesepahaman di antara
keduanya.
Mengizinkan
Bila istri meminta izin kepada suami untuk melakukan ibadah yang walaupun tidak wajib dan sedikit mengambil haknya, maka hendaknya suami ikhlas memperkenankannya, misalnya istri berhasrat hadir di shalat berjamaah di masjid, atau pengajian atau izin ziarah ke keluarga dan kerabatnya untuk silaturrahim, atau hendak bersedekah dengan hartanya atau harta suami atau hendak puasa Senin atau puasa sunnah lainnya, bila semua itu adalah kemaslahatan bagi istri, maka hendaknya suami tidak kaku dengan hak dirinya. Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar