Andai
kita bisa lebih melihat kekurangan dan aib kita sendiri, kita pasti takkan
mungkin disibukkan dengan kekurangan dan aib orang lain. Sederhana saja.
Kebalikannya, jika kita jeli dan banyak sibuk dengan kekurangan dan aib orang
lain, kita pasti akan sulit meraba dan melihat aib dan kekurangan diri sendiri.
Memperhatikan dan lebih melihat
kekurangan diri ketimbang orang lain adalah perintah Allah SWT. “Setiap jiwa
bertanggung jawab apa yang diperbuatnya,” demikian arti firman Allah dalam
surat Al Muddatsir ayat 38. Apa manfaat yang bisa kita rasakan, bila firman
Allah ini kita terapkan ddengan lebih banyak melihat, menengok, memperhatikan,
meneliti kekurangan diri ketimbang orang lain? Jawabannya adalah perasaan
tenang, jiwa yang damai, dan mudah mendapat kecintaan dan penerimaan orang
lain.
Sebaliknya,
orang yang lebih sibuk dengan aib dan kekurangan orang lain ketimbang diri
sendiri, pasti sulit merasakan hati yang damai dan tenang. Itu akibat karakter
yang suka mencari-cari kesalahan orang, menyebarkan aib orang. Akibatnya, orang
lain pun akan cenderung sulit menyukai orang tersebut. Efek lainnya, orang yang
suka mencari-cari kesalahan orang lain, akan mendorong orang untuk juga mencari
kesalahan dan aib-aibnya, bahkan kesalahan yang dilakukan di ruang tersembunyi
sekalipun.
Seorang
ulama asal Mesir, Syaikh Muhammad bin Ismail Al Muqaddam menegaskan sisi lain
yang penting dalam masalah ini. Menurutnya, sikap selalu melontarkan kritik dan
selalu melihat kesalahan orang lain, adalah indikasi kelemahan pribadi yang
bersangkutan. “Orang yang memandang dirinya tidak bernilai, biasanya melihat
kesalahan orang lain begitu besar. Karena itu, sebenarnya tampilan kepribadian
seseorang itu bisa diukur dari sikapnya dalam masalah ini. Bila ia dikenal
dengan orang yang yang sibuk membicarakan besarnya kesalahan orang lain dan
mencela banyak orang, sebenarnya itu adalah cermin yang memantulkan bahwa diri
orang itu sedang merasakan kecil, tidak berdaya, dan tak memiliki nilai. Ia
yakin bahwa dirinya tidak akan bisa lebih baik kecuali dengan berdiri di atas
kekurangan orang lain dan karenanya selalu berusaha menghancurkan orang lain.
Iapun selalu memperbanyak kritik terhadap banyak orang dan menyebutkan
kekurangannya. Sekali lagi, ini merupakan cermin yang sebenarnya menampilkan
bahwa dirinya sedang merasa kerdil dan kurang percaya diri, ” demikian ungkap
Syaikh Al Muqaddam.
Seperti
yang dikatakan Muhammad bin Sirin Rahimahullah yang pernah mengatakan, “Suatu
saat kami membicarakan bahwa orang yang paling banyak salahnya adalah orang
yang paling banyak membicarakan kesalahan orang lain.”
Masalah
kecenderungan untuk mencari aib dan kekurangan orang lain, disinggung dalam
hadits Rasulullah saw, “Seseorang dari kalian ada yang melihat kotoran di mata
saudaranya, tapi tidak bisa melihat kotoran di matanya sendiri.”
Ada
banyak efek rangkaian keburukan yang muncul akibat sikap buruk membuka dan
mencari kesalahan orang lain. Misalnya, sikap itu mau tidak mau akan mendorong
seorang untuk melakukan ghibah. Sedangkan Malik bin Dinar rahimahullah
mengatakan, “Cukuplah seseorang berdosa bila ia tidak menjadi orang shalih
kemudian ia duduk di satu majlis dan bicara tentang kekurangan orang-orang
shalih.”
Perkataan
para salafushalih mencerminkan bagaimana mereka sangat hati-hati dalam soal
ini. Mereka sangat sibuk dengan kekurangan diri mereka sendiri, bahkan
memandang diri mereka seluruhnya dalam pandangan merendah meski sesungguhnya
mereka mulia. Mereka khawatir bila membicarakan tentang kekurangan orang,
justru merekalah nantinya yang akan ditimpa ujian dengan kekurangan yang mereka
bicarakan itu. Itu sebabnya Rabii bin Haitsam rahimahullah ketika ditanya,
“Mengapa kami tidak melihatmu tidak pernah membicarakan kekurangan dan
kesalahan orang lain? Ia menjawab, “Aku merasa belum ridha dengan kondisi diriku
sendiri sehingga tidak bisa membicarakan kesalahan orang lain.” Inilah juga
yang dikatakan oleh Al A’masy, “Aku mendengar Ibrahim mengatakan, “Aku melihat
sesuatu dan aku tidak menyukainya. Tapi aku tidak boleh membicarakan orang yang
melakukan itu, karena aku khawatir diuji dengan keburukan yang sama.”
Mari
kita perhatikan lebih jauh kehidupan salafushalih dari dialog yang terjadi di
antara mereka. Salah seorang mereka mengatakan pada saudaranya, ” Saudaraku,
aku mencintaimu karena Allah. ” Saudaranya menjawab, “Andai engkau tahu apa ada
pada diriku sebagaimana aku mengetahui apa yang ada pada diriku, engkau pasti
justru akan membenciku karena Allah. “Lalu saudaranya itu mengatakan, “Jika aku
tahu apa yang ada dalam dirimu sebagaimana engkau tahu tentang dirimu, niscaya
berdasarkan apa yang aku ketahui itu pasti aku lebih disibukkan dengan apa yang
aku ketahui tentang diriku sendiri, daripada aku kemudian membencimu.”
Kita
harus sadar, bahwa dalam diri ini ada banyak dan lebih banyak kekurangan yang
kita miliki daripada apa yang kita lihar dari diri orang lain. Jangan biarkan
pintu ghibah itu terbuka. Jangan biarkan buruk sangka berkembang di antara
saudara lantaran kita sibuk terhadap kekurangan sesama. Jangan diamkan, bila
keinginan dan kecenderungan kita membicarakan aib dan kekurangan orang lain,
menjadikan peluang aib dan kekurangan kita terbuka di hadapan orang banyak.
Dengarkan
nasihat Ibnu Abbas radhiallahu anhu, “Bila engkau ingin menyebutkan aib dan
kekurangan temanmu, ingatlah aib dan kekurangan dirimu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar