Rasulullah shallallohu 'alaihi
wasallam bersabda, “Tidaklah kedua kaki seorang hamba beranjak di hari Kiamat
sehingga dia ditanya tentang empat perkara: Tentang umurnya, untuk apa dia
menghabiskannya, tentang ilmunya, pada apa dia mengamalkannya, tentang
hartanya, dari mana dia memperolehnya dan untuk apa dia menafkahkannya, dan
tentang badannya, untuk apa dia mempergunakannya.” Diriwayatkan oleh
at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh oleh Syaikh al-Albani dalam ash-Shahihah 946.
Dari mana harta diperoleh?
Harta yang halal dan sah
secara syar’i menjadi hak milik kembali kepada sebab memperolehnya, sebab
kepemilikan harta secara syar’i secara umum ada tiga: Warisan, harta tak
bertuan dan akad pemindahan hak milik.
Warisan
Perpindahan hak milik mayit
kepada ahli warisnya, sah bila secara umum memenuhi tiga syarat: Adanya sebab
warisan antara mayit dengan pewaris berupa akad pernikahan atau hubungan nasab,
tidak adanya penghalang warisan antara mayit dengan pewaris berupa pembunuhan
atau perbedaan agama, dan kebenaran dalam tata cara pembagian.
Harta Tak Bertuan
Seperti ikan di laut, air di
sungai, burung di angkasa, kayu bakar di hutan, hewan buruan, rumput di tempat
umum, sampah yang dibuang dan yang sepertinya, barangsiapa mendapatkannya atau
menangkapnya atau mengambilnya maka ia adalah miliknya yang sah secara syar’i,
bila dia menjualnya maka harganya adalah miliknya yang halal.
Akad Pemindahan Hak
Tanpa kompensasi: Seperti
hadiah, hibah, wasiat.
Dengan kompensasi, ini terbagi
menjadi dua: Jual beli dan sewa-menyewa. Yang pertama secara umum antara uang
dengan barang, sedangkan yang kedua antara uang dengan jasa. Selama obyek akad
adalah sesuatu yang halal dan tidak ada manipulasi dalam akad, maka akadnya
shahih dan mengakibatkan hukum yang shahih pula, yaitu kepemilikan yang shahih.
Dengan kompensasi pelanggaran, seperti seseorang membunuh orang lain, keluarga korban tidak menuntut qishash tetapi diyat, maka pembunuh membayar 100 ekor unta dan keluarga korban menerima harta tersebut sebagai harta yang halal atau kedua belah pihak berdamai dengan pembayaran dalam jumlah tertentu, maka ia pun halal.
Untuk Apa Harta Dinafkahkan?
Harta itu baik, Allah
menamakannya dengan khaira, kebaikan dan qiwam atau qiyam, tulang punggung.
Kalau kemudian harta menjadi tidak baik maka itu karena tangan pemegangnya.
Fawaid harta dalam agama:
1- Menunaikan ibadah wajib seperti zakat, jihad, haji, mencari ilmu, berbakti kepada ibu bapak dan yang sepertinya.
2- Menggunakannya sebagai sarana ibadah seperti memenuhi hajat diri dan keluarga secukupnya, karena dengan terpenuhinya hajat, kita bisa beribadah dengan baik.
3- Berbuat baik kepada yang membutuhkan melalui sedekah kepada fakir miskin, berbuat baik kepada anak yatim, bersilaturrahim kepada kerabat.
4- Menjalin hablum minan nas melalui hadiah, memuliakan tamu dan yang sepertinya, dengan ini seseorang menjalin hubungan baik dengan rekanan.
5- Melindungi kehormatan diri dari tindakan orang bodoh seperti peminta-minta yang jika tidak diberi, akan mencaci maki atau merusak.
6- Membuka pintu rizki bagi orang lain seperti memanggil montir untuk memperbaiki kendaraan, dan lebih luas lagi menjadikan harta sebagai modal usaha yang memberikan kesempatan kerja kepada banyak orang.
7- Kepentingan umum seperti sekolah, masjid, jalan, jembatan dan yang sepertinya.
Yang Patut Diwaspadai
1- Harta bisa menjadi kendaraan untuk berbuat dosa, karena harta memberikan kekuatan kepada pemegangnya, sementara ada dosa yang memerlukan harta untuk melakukannya, di samping ada yang menjualnya, bila tidak direm dengan iman dan takwa.
2- Harta bisa memicu permusuhan dan terputusnya hubungan baik, saat misalnya di antara saudara berebut harta pusaka orang tua mereka, atau di antara rekanan yang salah satunya menipu yang lain.
3- Harta bisa membuat orang lalai beribadah kepada Allah, karena itu Allah memperingatkan kita agar jangan dilalaikan oleh harta dan anak-anak dari mengingat Allah.
4- Harta bisa mendorong orang untuk tenggelam dalam kemewahan, hidup serba nikmat, akibatnya tidak memiliki sifat sabar dan tahan uji saat mendapatkan kesulitan dan musibah.
Uang Haram
Uang haram tidak harus
dikembalikan dan tidak patut dimakan.
Uang haram yang didapatkan bukan atas dasar kerelaan pemiliknya, akan tetapi melalui pelanggaran terhadap haknya, wajib dikembalikan, seperti uang hasil menipu, merampok dan sepertinya.
Uang haram yang didapatkan atas kerelaan pihak yang memberikannya karena pihak pemberi juga mendapatkan imbalan yang haram pula, seperti mahar melacur, uang itu tidak dikembalikan kepada pihak yang telah membayar, karena bila dikembalikan berarti pembayarnya mendapatkan dua hal yang haram, perbuatan dan biaya imbalannya, ini berarti tolong menolong dalam dosa. Namun uang itu juga tidak halal bagi pihak yang mendapatkannya karena ia adalah upah perbuatan haram, maka dia tidak boleh menggunakannya untuk kepentingan pribadi. Lalu bagaimana? Menyerahkannya kepada kepentingan umum atau sosial, yang bersangkutan mendapatkan pahala dari sisi menahan diri dari uang haram, kalau dari sisi sedekah maka tidak, karena Allah itu baik dan hanya menerima yang baik-baik saja. Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar