Bolehkah tayamum dengan niat
melakukan ibadah sunnah digunakan untuk melakukan ibadah wajib? Batalkah
tayamum dengan habisnya waktu shalat? Atau bolehkah satu tayamum digunakan
untuk dua halat fardhu? Bolehkah tayamum
sebelum waktu shalat tiba? Jika bertayamum dengan niat untuk melakukan suatu
ibadah bolehkah digunakan untuk melakukan ibadah yang lain? Jawaban dari empat
pertanyaan tersebut kembali kepada judul di atas tayamum thaharah atau atau
dharurah? Atau dengan bahasa lain tayamum mengangkat hadas atau hanya
membolehkan?
Terdapat dua pendapat dalam masalah ini:
Pendapat pertama berpendapat yang pertama yakni tayamum itu thaharah mengangkat hadas.
Dalil pendapat ini:
1. Firman Allah, “Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmatNya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (Al-Maidah: 6).
Sisi pengambilan dalil dari ayat adalah bahwa dengan mensyariatkan tayamum Allah berkehendak untuk mensucikan. Allah menetapkan bahwa tayamum mensucikan, jadi ia adalah thaharah yang berarti mengangkat hadits.
2. Sabda Nabi saw,
وَجُعِلَتْ لِيَ الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُوْرًا .
“Dan bumi dijadikan untuku sebagai masjid dan alat bersuci.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdullah).
Sisi pengambilan dalil dari hadits: Nabi saw menyatkaan bahwa bumi (tanah) sebagai طَهُور dengan tha’ dibaca fathah yang berarti alat bersuci, maka tanah mensucikan, maka tayamum mensucikan.
3. Sabda Nabi saw,
الصَعِيْدُ الطَاهِرُ وَضُوْءُ المُسْلِم وَإِنْ لَمْ يَجِدِ الْمَاءَ عَشْرَ سِنِيْنَ فَإِذَا وَجَدَهُ فَلْيَتَّـقِ اللهَ وَلْيُمِسْهُ بَشَرَتَه .
“Debu yang suci adalah alat bersuci bagi seorang muslim walaupun dia tidak mendapatkan air selama sepuluh tahun, jika dia mendapatkannya maka hendaknya dia bertakwa kepada Allah dan membasuh kulitnya dengannya.” (HR. Abu Dawud, an-Nasa`i dan at-Tirmidzi dari Abu Dzar. At-Tirmidzi berkata “Hadits hasan shahih.”).
Nabi saw menetapkan bahwa debu yang suci adalah alat bersuci, jika ia adalah alat bersuci berarti ia mensucikan berarti tayamum adalah thaharah.
4. Dalil-dalil menetapkan bahwa tayamum adalah badal (pengganti) thaharah dengan air (wudhu dan mandi) dan kaidah syari’yah menetapkan bahwa badal (pengganti) mengambil peran dan fungsi dari yang digantikannya selama ia tidak ada. Jadi kalau wudhu dan mandi merupakan thaharah mengangkat hadas, begitu pula tayamum.
Di antara dalil yang
menetapkan kaidah ini adalah: Firman Allah,
“Kemudian kamu tidak
mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah
mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.” (An-Nisa`:
43).
Dalam ayat ini Allah memfungsikan tayamum sebagai pengganti wudhu dalam kondisi tidak ada air.
Sabda Nabi saw dalam hadits Imran bin Hushain tentang seorang laki-laki junub dan tidak mendapatkan air,
عَلَيْكَ بِالصَعِيْدِ فَإِنَّهُ يَكْفِيْكَ .
“Gunakanlah tanah (debu) karena ia cukup bagimu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Berdasarkan pendapat ini maka jawaban dari empat pertanyaan di atas adalah:
1) Tayamum dengan niat ibadah sunnah boleh digunakan untuk ibadah wajib.
2) Tayamum tidak batal dengan
habisnya waktu shalat, jadi dua shalat fardhu sah dilakukan dengan satu
tayamum.
3) Boleh bertayamum sebelum
masuk waktu shalat.
4) Tayamum dengan niat satu
ibadah boleh digunakan untuk ibadah yang lain misalnya tayamum untuk thawaf
boleh digunakan shalat.
Pendapat kedua:
Tayamum adalah dharurah, hanya
membolehkan, berdasarkan pendapat ini maka jawaban dari empat pertanyaan di
atas adalah kebalikan dari jawaban berdasarkan pendapat yang pertama.
Dalil pendapat kedua:
1. Hadits
Imran bin Hushain yang dijadikan sebagai dalil oleh pendapat pertama,
kelanjutan hadits tersebut, .. “Ketika air datang Nabi saw bersabda kepada
orang yang junub tersebut,
خُذْ هَذَا وَأَفْرِغْهُ عَلَيْكَ .
‘Ambillah air ini dan guyurkanlah ia ke badanmu’.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
2. Hadits Abu Dzar yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Muslim dan at-Tirmidzi. (Dalil ketiga kelompok pertama).
Sisi pengambilan dalil dari
dua hadits di atas adalah bahwa tayamum tidak mengangkat hadas karena jika ia
mengangkat hadas niscaya laki-laki junub tersebut tidak perlu mandi lagi pada
saat mendapatkan air dan dia tidak perintah untuk membasuh kulit dengannya.
3. Hadits Amru bin al-Ash ketika dia shalat dengan rekan-rekannya dengan bertayamum pada saat dia junub sementara dia takut terhadap dirinya karena malam itu sangat dingin ketika Nabi saw mengetahui beliau bersabda,
أَصَلَّيْتَ بِأَصْحَابِكَ وَأَنْتَ جُنُبٌ .
“Apakah kamu shalat dengan rekan-rekanmu padahal kamu junub.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, al-Baihaqi dan al-Hakim. Ibnu Hajar berkata, “sanadnya kuat”. An-Nawawi berkata, “Hadits shahih.”).
Dalam hadits ini Nabi saw menyebutkan bahwa Amru junub. Ini menunjukkan bahwa tayamum adalah dharurah, ia tidak mengangkat hadits.
Tarjih
Pendapat pertama adalah rajih karena:
1) Sisi
pengambilan dalilnya lebih jelas dan lebih kuat.
2) Kalau
tayamum tidak mengangkat hadas niscaya orang yang bertayamum belum bersuci,
akibatnya dia tidak shalat dan tidak melakukan ibadah-ibadah lain di mana
thaharah merupakan syarat padanya, kenyataannya justru sebaliknya.
3) Ketika
kita mengatakan bahwa tayamum adalah thaharah, kita tidak mengatakan secara
mutlak akan tetapi sebatas tidak ada air, begitu air hadir maka ia batal,
pembatalnya adalah adanya air bukan karena ia tidak mengangkat hadas.
4) Adapun
sabda Nabi saw kepada Amru, maka hal tersebut sebagai pertanyaan dari beliau
tentang alasan Amru shalat dengan tayamum, maka ketika Amru menjelaskan Nabi
saw pun maklum dan tidak menyuruhnya mengulang shalat tersebut. Wallahu a'lam.
Lajnah
Daimah dalam fatwanya no. 6420 menjawab pertanyaan, “Jika musafir mengqasar dan
bertayamum, bolehkah satu tayamum digunakan untuk seluruh shalat fardhu ataukah
setiap shalat harus bertayamum?
Lajnah
menjawab, cukup baginya satu tayamum untuk satu shalat atau lebih, fardhu atau
nafilah selama dia dalam keadaan thaharah dan tidak mendapatkan air menurut
pendapat yang shahih dari dua pendapat dari kalangan para ulama.
Dalam fatwa no. 4548 Lajnah Daimah menjawab pertanyaan, “Jika aku shalat Zhuhur dengan tayamum, setelah shalat aku yakin thaharahku belum batal lalu masuk waktu Asar bolehkah aku shalat Asar atau tidak? Apakah wajib atasku bertayamum setelah masuk waktu?” Jawaban Lajnah, yang shahih dari pendapat para ulama adalah bahwa tayamum tidak batal dengan habisnya waktu shalat yang dia lakukan dengan tayamum tersebut, akan tetapi tayamum batal dengan adanya air atau salah satu pembatal wudhu.”
(Rujukan: Al-Majmu’ Imam an-Nawawi, Kifayatul Akhyar Abu Bakar al-Khusaini, asy-Syarhul Mumti’ Ibnu Utsaimin, al-Uddah Abdur Rahman al-Maqdisi, Fatawa Lajnah Daimah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar