Tata Cara Bersuci Bagi Orang Yang Sakit

Setelah anda mengetahui bagaimana tata cara mandi wajib yang benar beserta perinciannya disini saya bawakan fatwa dari lembaga penelitian dan riset ilmiyah para ulama saudi arabia, tentang tata cara bersuci dari hadas ketika sakit, karena sebagian orang terkadang tidak sholat ketika mereka sakit dengan alasan sedang ber-hadas dan tidak boleh terkena air. Artikel ini juga sebagai jawaban jika ada yang bertanya "bagaimana cara mandi wajib ketika sakit atau luka". Adapun perincian dalilnya insyaallah jika dimudahkan akan ditulis pada artikel selanjutnya, wallahu'alam. Berikut artikelnya saya kutip dari Majalah Muslim Sehat edisi 01 hal.73-76

Al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-’Ilmiyyah wal Ifta’ (Lembaga Tetap Untuk Pembahasan Ilmiah dan Fatwa di Saudi Arabia) telah menelaah surat yang dikirimkan ke Mufti Besar Lajnah dari seseorang, yang ditembuskan ke Lembaga Hai’ah Kibaril Ulama’ (Lembaga Perkumpulan Ulama-ulama Besar di Saudi Arabia) dengan nomor surat 4531, tertanggal 25-12-1414 H.


Penanya menyatakan di dalam suratnya, apa yang ia saksikan di rumah sakit berupa ketidaktahuan sebagian pasien terhadap tata cara shalat dan tata cara bersuci dalam kondisi sakit. Penanya sangat mengharapkan adanya fatwa yang detail tentang permasalahan tersebut.

Setelah membaca surat tersebut, Al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-’Ilmiyyah wal Ifta’ menjawab:


Bersuci bagi orang yang sakit.


1. Orang yang sakit memiliki kewajiban yang sama dengan orang yang sehat di dalam masalah bersuci dengan air, baik dari hadas besar ataupun hadas kecil. Ia harus wudhu untuk suci dari hadas kecil dan mandi untuk suci dari hadas besar.

2. Orang yang sakit juga harus tetap beristinja’ (cebok dengan air) atau istijmar (cebok dengan batu atau tisu atau yang sejenisnya), setelah ia buang air kecil atau besar, sebelum ia berwudhu.

Apabila ia beristijmar, maka minimal ia harus menggunakan 3 batu (tisu atau yang semisalnya, ed.).
Tidak boleh istijmar dengan kotoran binatang, tulang, makanan, dan segala sesuatu yang harus dimuliakan (seperti kertas mushaf Alqur’an, dll, pent).

Yang lebih utama adalah istijmar dengan batu dan yang semisalnya seperti tisu, (pecahan) batu bata, atau yang sejenisnya, kemudian meng-ikut-kannya dengan air setelahnya, karena batu menyucikan badan dari zat najis, sedangkan air menyucikan tempat/bagian tubuh yang terkena najis. Hal demikian ini lebih efektif.
Seseorang boleh memilih antara istinja’ dengan air atau istijmar dengan batu atau yang semisalnya. Bila ia ingin mencukupkan dengan salah satunya, maka penggunaan air lebih utama karena air menyucikan tempat (badan), dan juga menghilangkan zat najis serta sisa-sisanya, yang demikian ini lebih menyeluruh di dalam pembersihan.

Bila ia mencukupkan diri dengan istijmar, maka cukup baginya menggunakan 3 batu (tisu atau yang semisalnya), bila jumlah ini cukup untuk membersihkan tempat keluarnya hadas. Namun bila tidak cukup, ia bisa menambah dengan batu yang keempat, kelima, dan seterusnya. Dan yang utama adalah menjadikan jumlah batu itu ganjil.

Tidak boleh ber-istijmar dengan tangan kanan. Apabila tangan kiri putus, patah, terluka, atau yang semisalnya, maka boleh menggunakan tangan kanan dalam istijmar, karena adanya kebutuhan, dan tidak ada dosa dalam hal ini.

3. Apabila orang yang sakit tidak mampu berwudhu dengan air karena kelemahannya atau ia mengkhawatirkan akan bertambah sakitnya atau akan tertunda kesembuhannya, maka ia boleh ber-tayammum.

Cara Tayammum:

Menepukkan kedua tangan (bagian dalam telapak tangan) ke debu/tanah yang suci dengan sekali tepukan. Kemudian, mengusapkan kedua tangannya ke wajah, lalu mengusap punggung telapak tangan kanan dengan bagian dalam telapak tangan kiri dan punggung telapak tangan kiri dengan bagian dalam telapak tangan kanan.

Boleh ber-tayammum dengan menggunakan benda apa saja yang suci yang terdapat debu diatasnya, walaupun tidak terletak di atas tanah, misalkan ber-tayammum dengan debu yang ada di dinding.
Bila seseorang tetap dalam keadaan suci setelah tayammum-nya yang pertama, boleh baginya shalat lagi dengan tayammum pertama itu, – sebagaimana ketika seseorang berwudhu, ia bisa shalat terus selama belum batal wudhu-nya maka ia tidak harus memperbaharui/mengulang tayammum-nya, karena tayammum adalah pengganti air, dan pengganti sesuatu mendapatkan hukum dari sesuatu yang digantikannya.

Tayammum batal dengan:
1. Perkara-perkara yang membatalkan wudhu.
2. Kembalinya kemampuan menggunakan air.
3. Adanya air setelah tadinya tidak ada.
4. Apabila penyakitnya ringan dan tidak ada kekhawatiran penggunaan air dapat membahayakan dirinya atau memperparah sakitnya, menunda kesembuhannya, bertambahnya rasa sakit, atau yang semisalnya, seperti contohnya sakit kepala, sakit gigi, atau bila orang yang sakit tersebut dapat menggunakan air hangat tanpa mendapatkan mudarat, maka tidak boleh melakukan tayammum dalam kondisi-kondisi seperti di atas, karena tayammum hanya diperbolehkan bila orang yang sakit akan mendapatkan mudarat dengan menggunakan air. Lain halnya dengan kondisi-kondisi yang tidak ada mudarat padanya, dan air juga tersedia, sehingga tetap wajib menggunakan air.

5. Apabila orang yang sakit sulit untuk melakukan wudhu atau ber-tayammum tanpa bantuan orang lain, maka orang lain dapat membantunya wudhu atau tayammum, dan ini cukup baginya.

6. Apabila seseorang terkena junub/janabah, sementara dia dalam keadaan terluka, atau memiliki borok, atau patah tulang, atau penyakit yang penggunaan air padanya akan membahayakannya, maka boleh baginya untuk ber-tayammum. Bila memungkinkan baginya untuk menggunakan air pada bagian yang sehat dari tubuhnya, maka ia wajib melakukannya, dan ia ber-tayammum (seperti yang telah dijelaskan, pent) untuk sisanya.

7. Orang yang mendapatkan luka di salah satu anggota wudhu, ia harus mencucinya dengan air. Namun bila hal ini sulit baginya atau justru menimbulkan bahaya, maka ia mengusapnya dengan air sebagai pengganti kewajiban membasuh/mencucinya ketika wudhu, dengan urutan seperti wudhu biasa. Dan bila mengusapnya juga susah, atau membahayakan, maka boleh baginya untuk ber-tayammum, dan ini cukup baginya.

8. Orang yang dirawat dengan gips, orang yang patah tulang dan bagian tubuhnya itu dibalut dengan perban atau yang semisalnya, maka ia boleh mengusapkan air di atas perbannya itu, meskipun sebelumnya ia tidak dalam keadaan suci ketika perban dipakaikan.

9. Wajib bagi orang yang sakit yang hendak shalat untuk bersungguh-sungguh mengupayakan kesucian badan, pakaian, dan tempat shalatnya dari najis. Akan tetapi, jika ia tidak mampu, ia dapat shalat dengan keadaan yang demikian ini, dan tidak ada dosa atasnya.

10. Apabila orang yang sakit menderita keluar air kencing (urine) secara terus menerus dan belum sembuh dengan terapi, maka wajib baginya untuk istinja’ dan berwudhu untuk setiap shalat. Bila waktu shalat telah datang, ia harus membersihkan bagian tubuh yang terkena najis, dan menyiapkan pakaian bersih untuk shalat, bila ini tidak memberatkan baginya. Bila memberatkan, maka ia mendapatkan toleransi. Ia harus berusaha agar urine-nya tidak mengenai/menyebar di bajunya, badannya, dan pada tempat shalatnya. Hal ini dapat dilakukan dengan meletakkan kain (popok) di tempat keluarnya urine.

Al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-’Ilmiyyah wal Ifta’
(Lembaga Tetap untuk Pembahasan Ilmiah dan Fatwa Saudi Arabia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar