Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
HARI
ini, kita menanti lahirnya para pemberani. Tak keluh lidahnya bicara
kebenaran. Tak kuyuh langkahnya melihat kesulitan yang menghadang.
Mereka menjadi pemberani bukan karena kuat berkelahi. Tetapi anak-anak
itu tumbuh menjadi sosok pemberani karena himmahnya (hasrat
terbesarnya) akhirat, pegangannya syari’at dan aqidahnya kuat melekat
dalam diri. Mereka berani bukan karena dirinya kuat, tetapi karena
adanya kendali kuat atas syahwatnya terhadap dunia. Mereka menjadi
pemberani karena dirinya ditempa untuk tidak terbiasa dengan tana’um (bernikmat-nikmat).
Tetapi
bagaimana mungkin mereka akan mampu menjauh dari tana’um jika mereka
tak mampu mentasharrufkan harta dengan benar? Bagaimana mungkin kita
dapat mendidik generasi yang tak sibuk berbangga dengan dunia jika
mereka tidak dilatih menahan diri?
Hari ini, kita menunggu
munculnya generasi yang kepala mereka tegak tatkala berhadapan dengan
manusia. Kita menunggu lahirnya generasi yang tak merasa rendah karena
berjumpa dengan manusia yang bernampilan wah. Mereka tak menyibukkan
diri memuji manusia berdasarkan benda-benda yang dipunyai. Mereka tidak
memuliakan, tidak pula merendahkan manusia lainnya karena rupawan
tidaknya wajah. Tetapi mereka menilai manusia karena sikap, perjuangan,
akhlak dan kesungguhannya berbenah.
Seseorang dapat memiliki
keberanian karena merasa dirinya kuat. Keberanian juga dapat tumbuh
karena keinginan untuk menjadi sosok yang membanggakan di hadapan
manusia lainnya. Tetapi keberanian semacam ini, selain tak bernilai di
hadapan Allah ‘Azza wa Jalla, juga mudah runtuh manakala mereka
dihadapkan pada kesulitan serta tiadanya kenikmatan hidup. Sebagaimana
manusia dapat bersemangat melakukan perang karena mengharapkan
gemerlapnya dunia, sedangkan kematian dianggap sebagai akhir perjalanan.
Tak ada kehidupan sesudahnya. Orang-orang semacam ini dapat menjadi
pemberani. Tetapi keberanian mereka akan mudah surut jika dihadapkan
pada kesengsaraan. Sangat berbeda dengan keberanian pada mujahid yang
justru melihat akhirat sebagai kehidupan terbaik, sementara kematian
merupakan gerbang yang membentangkan jalan untuk mencapai kenikmatan
tertinggi di sisi Allah.
Banyak hal yang memerlukan keberanian
agar dapat menjalankan agama dengan sempurna. Ada keberanian menghadapi
ancaman, ada keberanian menghadapi kesulitan yang mungkin menghadang,
dan ada pula keberanian yang terkait kesiapan untuk berpayah-payah demi
meraih kemuliaan di sisi-Nya. Keberanian menghadapi kesulitan yang
mungkin terjadi adakalanya terkait apa yang akan segera dilakukannya,
semisal membawakan acara di hadapan banyak orang, dan ini merupakan
kesulitan yang ringan. Adapula keberanian menghadapi kesulitan yang
mungkin terjadi terkait dengan hal-hal jauh di masa akan datang, dan ini
memerlukan keyakinan tentang dekatnya pertolongan Allah subhanahu wa
ta’ala.
Adapun keberanian untuk berpayah-payah demi meraih
kemuliaan di sisi Allah ‘Azza wa Jalla memerlukan kemampuan menahan
diri. Tidak akan mampu seseorang menempuh jalan sulit semata karena
ingin meraih ridha Allah Ta’ala kecuali jika ia memiliki harga diri (‘izzah) yang kuat sebagai seorang muslim. Dan tidak akan tumbuh ‘izzah yang kokoh kecuali ada penjagaan diri (‘iffah) yang kuat. Dan ini memerlukan latihan panjang.
Tatkala
anak dibesarkan di rumah, anak-anak memperoleh penguatan dari orangtua,
saudara dan anggota keluarga lainnya. Tetapi ketika anak tumbuh di
sekolah berasrama, maka harus ada kebijakan pendidikan yang sengaja
mengawal anak-anak agar belajar mengendalikan diri dan menjauhi tana’um.
Sekolah dapat membatasi jumlah uang saku anak setiap harinya, tetapi
pembatasan saja tidak cukup. Harus ada pendidikan ruhani (tarbiyah ruhiyyah)
dari pengasuh asrama dan pendidik di sekolah. Harus pula ditumbuhkan
suasana penghormatan terhadap sikap terpuji, kegigihan berusaha,
integritas, semangat membantu orang lain, kesabaran dan keimanan. Tanpa
itu semua, keberanian yang sesungguhnya serta kendali diri hanya menjadi
pengetahuan yang dengan lancar dapat dituangkan penjelasannya saat
ujian, tetapi amat jauh dari penghayatan.
Mari kita ingat sejenak
nasehat ‘Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu sebagaimana diriwayatkan
oleh Ibnu Hibban, Abu ‘Awanah, Al-Baihaqi, Ahmad, Abu Ya’la dan Ibnul
Ja’d, “Jauhilah orang kalian hanyut dalam kemewahan dan senang berhias
dengan mode orang asing, bersikaplah dewasa dan berpakaianlah secara
sederhana (tidak mewah).”
Berpakaian sederhana merupakan hal yang
biasa jika anak hidup di lingkungan yang membiasakan mereka seperti
itu. Kebiasaan ini sangat bermanfaat untuk menjaga orientasi belajar
anak sehingga dapat menghadapkan dirinya secara lebih serius dalam
menuntut ilmu. Tetapi jika kebiasaan ini hanya berhenti sebatas
pembiasaan melalui pengendalian lingkungan (asrama), maka ia akan mudah
memudar begitu anak berpindah ke lingkungan lain. Bahkan tak sekedar
memudar, ia justru dapat berbalik total dari sederhana menjadi gemar
bermewa-mewah. Maka, pembiasaan itu harus didahului dan sekaligus
disertai penanaman nilai yang tak putus-putus sehingga anak melakukannya
dengan perasaan positif. Anak melakukannya, menghayatinya dan menjadi
bagian dari keyakinannya.
Sebaliknya, sangat berat bagi anak
untuk hidup sederhana jika teman-teman di sekelilingnya, baik di sekolah
maupun asrama hidup dalam suasana memuliakan penampilan, kemewahan dan
kepemilikan. Hidup sederhana berarti menjadi orang asing di
tengah-tengah sekumpulan orang yang sangat berbeda. Ini merupakan
tantangan yang sangat berat, lebih-lebih jika anak sendiri belum
memiliki keinginan untuk menyederhanakan makan dan pakaian. Padahal
umumnya anak usia remaja memang belum memiliki keinginan untuk sederhana
dalam makan dan pakaian. Jika suasana yang tumbuh di sekolah dan asrama
adalah semangat menutup aurat, maka ringan bagi anak untuk mengenakan
pakaian apa pun yang dapat menutup aurat secara sempurna. Tapi jika
suasana yang tumbuh adalah penampilan, sangat mungkin terjadi anak
merasa malu jika tidak menggunakan jilbab merek tertentu.
Mari
kita renungkan sejenak atsar dari Amirul Mukminin ‘Umar bin Khaththab
radhiyallahu ‘anhu, “Saya lebih senang melihat pembaca Al-Qur’an itu
berpakaian putih.”
Nah.
Jika anak tidak tersibukkan
hatinya dari berbangga-bangga terhadap pakaian dan penampilan, maka akan
lebih mudah bagi mereka memenuhi hatinya dengan hasrat terhadap ‘ilmu
dan akhirat. Lebih ringan langkahnya untuk menghadap hati kepada ilmu.
Bukan sekedar berkonsentrasi memusatkan perhatian anak saat belajar.
Tentu saja, mereka harus tetap menjaga muru’ah (kehormatan) sehingga tidak merendahkan martabat mereka maupun kehormatan agama ini. Dan panduan untuk menjaga muru’ah itu
adalah agama ini. Sedangkan guru dan pengasuh asrama merupakan
penjaganya. Merekalah yang bertugas menegakkan nilai, termasuk
penghormatan terhadap nilai-nilai tersebut.
Kelak, jika sekiranya
Allah Ta’ala mudahkan rezeki mereka dan melimpahi mereka dengan
perbendaharaan dunia, semoga akan ringan hati mereka untuk menolong
agama ini dengan harta dan jiwa mereka. Adapun jika mereka mengambil
kenikmatan dunia dari harta yang telah Allah Ta’ala berikan kepada
mereka, baik berupa makanan, pakaian, kendaraan atau pun selain itu yang
halal dan thayib, maka yang demikian ini semoga senantiasa tak bergeser
dari kebaikan.
Allah Ta’ala berfirman:
وابتغ فيما
آتاك الله الدار الآخرة ولا تنس نصيبك من الدنيا وأحسن كما أحسن الله إليك
ولا تبغ الفساد في الأرض إن الله لا يحب المفسدين
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash, 28: 77).
Kendali Diri Bekal Berani'Alaa kulli haal, sederhana
dalam berpakaian hanyalah sebagian dari apa yang dapat kita lakukan
untuk mendidik anak agar mampu menjauhkan diri dari tana’um. Awalnya
melatih dan mendidik mereka untuk mampu membelanjakan harta secara
bertanggung-jawab sesuai tuntunan syari’at. Bersamaan dengan itu anak
belajar mengendalikan diri. Bukan menuruti keinginan. Sungguh, cukuplah
orangtua dianggap menyengsarakan anak apabila mereka membiasakan anak
hidup mudah.
Ini merupakan bagian dari adab sebagai murid yang
perlu ditumbuhkan dan ditegakkan. Semoga tegaknya adab dapat membentuk
kemampuan mengendalikan diri dari menuruti segala keinginan, meskipun
Allah Ta’ala kuasakan kemampuan untuk memenuhinya. Semoga bagusnya
kendali diri dapat menjadi salah satu bekal berharga untuk mendidik
mereka menjadi pemberani.
Selanjutnya, kita perlu mendidik mereka dengan komitmen terhadap agama serta keinginan untuk memperjuangkannya. Begitu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar