Menyikapi Perbedaan


Sahabat,
Betapa indahnya kerukunan hidup, saling mengasihi, menasehati dan saling mengingatkan dalam kebaikan. Bahkan agama Islam yang mulia ini pun mewajibkan kita kaum muslimin di manapun juga, agar selalu hidup rukun, memegang teguh silaturrahmi dalam suasana persaudaraan. Hal yang sangat wajar jika muncul berbagai perbedaan-perbedaan, namun hendaknya hal yang demikian sepatutnyalah selalu ditanggapi dengan ber “husnuzh-zhan” (prasangka yang baik).

Banyak kasus perpecahan dalam Islam karena perbedaan penafsiran ayat Al Qur’an dan Hadis oleh para ulama. Sehingga timbul bermacam-macam aliran dalam Islam. Sungguh semua itu sudah menjadi perhatian khusus oleh Baginda Rasulullah sewaktu beliau masih hidup, seperti sabdanya: Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Kaum Yahudi telah terpecah menjadi tujuh puluh satu (71) golongan atau tujuh puluh dua (72) golongan, dan kaum Nasrani telah terpecah menjadi tujuh puluh satu (71) atau tujuh puluh dua (72) golongan, dan ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga (73) golongan.

Bahkan ada Hadis lain yang berkaitan dengan perpecahan tersebut yang juga diriwayatkan oleh Abu Daud, Tarmizi, Ibnu Majah, Al Baihaqi dan Al Hakim, yang menerangkan bahwa dari 73 farqah tersebut: hum fin naar, illa millati wahidah (mereka di dalam neraka, kecuali satu millah). Dan ketika para sahabat bertanya: Millah yang mana ya Rasulullah?, Beliau menjawab: ma ana ‘alaihi wa ashabi (yang aku berada di atasnya dan juga para sahabatku. Lalu bagaimana sikap farqah-farqah tersebut. Semua menyatakan bahwa farqah merekalah yang dimaksudkan Nabi bersama beliau dalam Hadis tersebut.

Sahabat,
Lalu bagaimana dengan hukum yang masih menjadi perdebatan para ulama. Sebagian ulama mengatakan haram, tetapi sebagian mengatakan halal, sementara kedua pendapat itu berangkat dari hasil ijtihad, lantaran dalilnya masih mengandung hal-hal yang bisa ditafsirkan berbagai pemahaman.

Dalam masalah hilafiah ini, di mana aturannya tidak jelas dan masih multi tafsir, maka Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, tidaklah menghakimi hambanya dengan semena-mena. Siapakah seorang Mujtahid yang boleh diikuti fatwanya. Tentunya setiap orang awam seperti kita tidak ada kewajiban untuk melakukan ijtihad sendiri. Sebab syarat sebagai seorang mujtahid tidak atau belum terpenuhi pada diri kita.

Menurut ulama besar Imam An Nawawi dan Ibnu Hajar, untuk dalil-dalil yang multi tafsir ijtihad halal dilakukan oleh para ulama mujtahid yang mu’tabar (diakui kapasitasnya). Sedangkan bagi kaum awam dibolehkan mengikuti fatwa para ulama mujtahid yang mu’tabar dimaksud. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam Surah An Nahl Ayat 43.

Artinya: "Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (mujtahid/ulama) jika kamu tidak mengetahui. Dalam hal ini Allah tidak mengatakan: “Bertanyalah kepada orang yang pasti benar ijtihadnya”. Karena kita telah bertanya kepada mujtahid (ulama), kita telah mengikuti firman Allah, maka kita sudah dapat pahala".

Perkara ijtihadnya seorang ulama mu’tabar salah, maka tidak ada ayat Al Qur’an dan Hadis yang menyebutkan bahwa salahnya ijtihad para ulama akan melahirkan dosa dan siksa. Sedangkan yang akan mendapat siksa itu adalah orang dengan kapasitas bukan mujtahid, tapi berlagak sebagai mujtahid dan salah.

Sahabat,
Perbedaan pemahaman adalah hilafiah para ulama yang masing-masing diikuti pendapatnya. Bagi kita orang awam seyogianyalah dapat memahami dan bisa menghargai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar