Sekarang ini orang tidak lagi peduli dari manakah hartanya berasal,
apakah dari yang halal ataukah dari yang haram. Asalkan mengenyangkan
perut, dapat memuaskan keluarga, itu sudah menyenangkan dirinya. Padahal
harta haram
sangat berpengaruh sekali dalam kehidupan seorang muslim, baik
mempengaruhi ibadahnya, pengabulan do’anya dan keberkahan hidupnya. Di
antara pengaruh dalam ibadah yaitu berdampak pada kesahan ibadahnya,
seperti pada ibadah shalat, haji atau pun sedekahnya. Karena Allah
hanyalah menerima yang thoyyib yaitu yang baik dan halal.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah itu thoyyib (baik).
Allah tidak akan menerima sesuatu melainkan dari yang thoyyib (baik)." (HR. Muslim no. 1015). Yang dimaksud dengan Allah tidak menerima selain dari yang thoyyib (baik) telah disebutkan maknanya dalam hadits tentang sedekah. Juga dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ
يَتَصَدَّقُ أَحَدٌ بِتَمْرَةٍ مِنْ كَسْبٍ طَيِّبٍ إِلاَّ أَخَذَهَا
اللَّهُ بِيَمِينِهِ فَيُرَبِّيهَا كَمَا يُرَبِّى أَحَدُكُمْ فَلُوَّهُ
أَوْ قَلُوصَهُ حَتَّى تَكُونَ مِثْلَ الْجَبَلِ أَوْ أَعْظَمَ
“Tidaklah seseorang bersedekah dengan sebutir kurma dari hasil
kerjanya yang halal melainkan Allah akan mengambil sedekah tersebut
dengan tangan kanan-Nya lalu Dia membesarkannya sebagaimana ia
membesarkan anak kuda atau anak unta betinanya hingga sampai semisal
gunung atau lebih besar dari itu” (HR. Muslim no. 1014).
Ibnu Rajab dalam Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam (1: 260) berkata, “Dalam hadits ‘Allah tidaklah menerima selain dari yang halal’
terdapat isyarat bahwa amal tidaklah diterima kecuali dengan memakan
yang halal. Sedangkan memakan yang haram dapat merusak amal dan
membuatnya tidak diterima.” Oleh karena itu, setelah mengatakan Allah
tidak menerima melainkan dari yang halal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membawakan ayat yang berisi perintah yang sama pada para Rasul dan orang beriman,
يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا إِنِّى بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
“Wahai para Rasul! Makanlah makanan yang baik-baik (halal) dan
kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan” (QS. Al Mu’minun: 51).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah rezeki yang baik-baik yang telah kami rezekikan kepadamu.'” (QS. Al Baqarah: 172).
Yang dimaksud dengan ayat tersebut, para Rasul dan umat mereka
diperintahkan untuk mengkonsumsi yang halal dan diperintahkan pula untuk
beramal sholih. Jika yang dikonsumsi adalah yang halal, maka amalan
sholihnya diterima. Jika yang dikonsumsi adalah yang haram, maka
bagaimana bisa diterima? Karenanya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam hadits Abu Hurairah di atas menceritakan tentang seorang
laki-laki yang telah menempuh perjalanan jauh, sehingga rambutnya kusut,
masai dan berdebu. Orang itu mengangkat tangannya ke langit seraya
berdo'a,
يَا
رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ
حَرَامٌ وَغُذِىَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
"Wahai Rabbku, wahai Rabbku." Padahal, makanannya dari barang
yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan
diberi makan dari yang haram, maka bagaimanakah Allah akan
memperkenankan do'anya?" (HR. Muslim no. 1014)
Dijelaskan pula oleh Syaikh Sholih Al Fauzan hafizhohullah, anggota Al Lajnah Ad Daimah (komisi fatwa di Saudi Arabia) ketika menjelaskan hadits ‘Allah hanya menerima dari yang halal’
bahwa memakan makanan yang halal bisa menolong dalam melakukan ketaatan
pada Allah karena beramal sholih diperintahkan setelah perintah memakan
makanan yang halal. Jadi, semakin baik makanan yang kita konsumsi,
semakin mudah pula kita dalam beramal. Lihat Al Minhah Ar Robbaniyyah Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 137. Juga lihat bahasan Syaikh Sholih Alu Syaikh dalam Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 163.
Dari pembahasan ini, para ulama memiliki bahasan apakah shalat di
tanah rampasan itu sah ataukah tidak. Imam Ahmad berpendapat tidak
sahnya. Sedangkan jumhur (mayoritas) ulama berpendapat sahnya tetapi
berdosa.
Begitu pula para ulama membahas bagaimana jika ada yang berhaji
dengan harta haram, sahkah hajinya? Imam Ahmad memiliki dua pendapat
dalam masalah ini, namun yang masyhur, hajinya tidak sah. Landasannya
adalah hadits yang mengatakan bahwa Allah hanya menerima dari yang thoyyib. Sedangkan jumhur ulama berpendapat sahnya haji dengan harta haram, namun hajinya tidak mabrur. Sehingga wajib bagi yang ingin melaksanakan haj memperhatikan harta yang ia gunakan.
Kita dapat mengambil pelajaran pula bahwa Allah hanyalah menerima
dari yang bertakwa, di antara bentuk takwa adalah menjaga diri dari
penghasilan haram. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
“Allah hanya menerima dari orang yang bertakwa” (QS. Al Maidah: 27). Imam Ahmad pernah ditanya oleh seseorang mengenai makna ‘muttaqin’
(orang yang bertakwa) dalam ayat tersebut dan beliau menjawab bahwa
yang dimaksud adalah menjaga diri dari sesuatu yang tidak halal yang
masuk ke dalam perut. Demikian dinukil dari Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 262. Lihat pula pembahasan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Ath Thorifi dalam Shifat Hajjatin Nabi, hal. 39-40 dan Syaikh Sa’ad Asy Syatsri dalam Syarh Al Arba’in, hal. 92.
Mengenai sedekah dengan harta haram, maka bisa ditinjau dari tiga macam harta haram berikut:
1- Harta yang haram secara zatnya. Contoh: khomr, babi, benda najis.
Harta seperti ini tidak diterima sedekahnya dan wajib mengembalikan
harta tersebut kepada pemiliknya atau dimusnahkan.
2- Harta yang haram karena berkaitan dengan hak orang lain. Contoh:
HP curian, mobil curian. Sedekah harta semacam ini tidak diterima dan
harta tersebut wajib dikembalikan kepada pemilik sebenarnya.
3- Harta yang haram karena pekerjaannya. Contoh: harta riba, harta
dari hasil dagangan barang haram. Sedekah dari harta jenis ketiga ini
juga tidak diterima dan wajib membersihkan harta haram semacam itu.
Namun apakah pencucian harta seperti ini disebut sedekah? Para ulama
berselisih pendapat dalam masalah ini. Intinya, jika dinamakan sedekah,
tetap tidak diterima karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ
“Tidaklah diterima shalat tanpa bersuci, tidak pula sedekah dari ghulul (harta haram)” (HR. Muslim no. 224). Ghulul
yang dimaksud di sini adalah harta yang berkaitan dengan hak orang lain
seperti harta curian. Sedekah tersebut juga tidak diterima karena
alasan dalil lainnya yang telah disebutkan, “Tidaklah seseorang
bersedekah dengan sebutir kurma dari hasil kerjanya yang halal melainkan
Allah akan mengambil sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya lalu Dia
membesarkannya sebagaimana ia membesarkan anak kuda atau anak unta
betinanya hingga sampai semisal gunung atau lebih besar dari itu” (HR. Muslim no. 1014). Lihat bahasan Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri dalam Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 92-93.
Adapun bersedekah dengan harta yang berkaitan dengan hak orang lain
(barang curian, misalnya), maka Ibnu Rajab membaginya menjadi dua macam,
1- Jika bersedekah atas nama pencuri, sedekah tersebut tidaklah
diterima, bahkan ia berdosa karena telah memanfaatkannya. Pemilik
sebenarnya pun tidak mendapatkan pahala karena tidak ada niatan dari
dirinya. Demikian pendapat mayoritas ulama.
2- Jika bersedekah dengan harta haram tersebut atas nama pemilik
sebenarnya ketika ia tidak mampu mengembalikan pada pemiliknya atau pun
ahli warisnya, maka ketika itu dibolehkan oleh kebanyakan ulama di
antaranya Imam Malik, Abu Hanifah dan Imam Ahmad. Lihat Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, 1: 264-268.
Di Manakah Menyalurkan Harta Haram?
Dari pendapat terkuat dari pendapat yang ada, harta haram harus
dibersihkan, tidak didiamkan begitu saja ketika harta tersebut tidak
diketahui lagi pemiliknya atau pun ahli warisnya. Namun di manakah
tempat penyalurannya? Ada empat pendapat ulama dalam masalah ini:
Pendapat pertama,
disalurkan untuk kepentingan kaum muslimin secara umum, tidak khusus
pada orang dan tempat tertentu. Demikian pendapat Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah.
Pendapat kedua,
disalurkan sebagai sedekah sunnah secara umum, mencakup hal yang
terdapat maslahat, pemberian pada fakir miskin atau untuk pembangunan
masjid. Ini adalah pendapat Hanafiyah, Malikiyah, pendapat Imam Ahmad,
Hambali, dan pendapat Imam Ghozali dari ulama Syafi’iyah.
Pendapat ketiga,
disalurkan pada maslahat kaum muslimin dan fakir miskin selain untuk
masjid. Demikian pendapat ulama Lajnah Ad Daimah Kerajaan Saudi Arabia.
Tidak boleh harta tersebut disalurkan untuk pembangunan masjid karena
haruslah harta tersebut berasal dari harta yang thohir (suci).
Pendapat keempat, disalurkan untuk tujuan fii sabilillah, yaitu untuk jihad di jalan Allah. Demikian pendapat terakhir dari Ibnu Taimiyah.
Ringkasnya, pendapat pertama dan kedua memiliki maksud yang sama
yaitu untuk kemaslahatan kaum muslimin seperti diberikan pada fakir
miskin. Adapun pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bukan menunjukkan
pembatasan pada jihad saja, namun menunjukkan afdholiyah. Sedangkan
pendapat keempat dari Al Lajnah Ad Daimah muncul karena kewaro’an (kehati-hatian) dalam masalah asal yaitu shalat di tanah rampasan (al ardhul maghsubah),
di mana masalah kesahan shalat di tempat tersebut masih
diperselisihkan. Jadinya hal ini merembet, harta haram tidak boleh
disalurkan untuk pembangunan masjid. [Disarikan dari penjelasan Syaikh Kholid Mihna, http://www.almoslim.net/node/82772]
Dalam rangka hati-hati, harta haram disalurkan untuk kemaslahatan
secara umum, pada orang yang butuh, fakir miskin, selain untuk masjid
dan tidak boleh dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi si pemilik harta
haram. Wallahu a’lam. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
Referensi:
Al Minhah Ar Robbaniyah fii Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, Syaikh Dr. Sholih bin Fauzan bin ‘Abdullah Al Fauzan, terbitan Darul ‘Ashimah, cetakan pertama, tahun 1429 H
Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al Hambali, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan kedelapan, tahun 1419 H.
Shifat Hajjatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Marzuq Ath Thorifi, terbitan Maktabah Darul Minhaj, cetakan ketiga, 1433 H.
Syarh Al Arba’in An Nawawiyah Al Mukhtashor, Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri, terbitan Dar Kunuz Isybiliya, cetakan pertama, tahun 1431 H.
Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, Syaikh Sholih bin ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh, terbitan Darul ‘Ashimah, cetakan kedua, tahun 1433 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar