Ada suatu pembahasan dalam kitabul buyu’ (jual beli) mengenai masalah bai’ ‘urbun. ‘Urbun
adalah seseorang membeli sesuatu dengan memberi uang muka (persekot)
dan dibuat perjanjian, yaitu jika jual belinya jadi, maka tinggal
membayar yang sisa. Jika tidak jadi, maka menjadi milik si penjual.
Inilah yang biasa istilahkan dengan uang muka, persekot, DP atau panjar. Mengenai hukum uang muka tersebut, kami akan sajikan secara sederhana berikut ini.
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعِ الْعُرْبَانِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual-beli ‘urbun” (HR. Malik, Abu Daud dan Ibnu Majah).
Hadits ini adalah hadits yang dho’if.
Ibnu Hajar Al Asqolani dalam At Talkhish Al Habir (3: 968) mengatakan
bahwa dalam rowinya ada perowi yang tidak disebutkan. Disebutkan dalam
riwayat Ibnu Majah, namun dho’if.
Imam Nawawi dalam Al Majmu’ (9: 334) mengatakan bahwa hadits ini dho’if.
Syaikh Ahmad Syakir dalam takhrij terhadap musnad Ahmad mengatakan bahwa hadits ini dho’if.
Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih (2864) mengatakan bahwa hadits ini dho’if.
Perselisihan Para Ulama
Mengenai jual beli ‘urbun ini para ulama berselisih pendapat.
Pendapat pertama mengatakan bahwa jual beli urbun itu haram. Karena di dalamnya dianggap terdapat ghoror dan jahalah,
yaitu ketidakjelasan, jual beli bisa terjadi atau pun tidak. Dari sisi
ini terlarang. Dalil yang jadi pegangan adalah hadits yang dikemukakan
di atas. Namun yang tepat, hadits tersebut adalah hadits dho’if, sehingga tidak bisa dijadikan dalil pendukung untuk melarang uang muka atau persekot.
Pendapat kedua
mengatakan bahwa jual beli urbun itu sah dan boleh-boleh saja. Inilah
pendapat ‘Umar, Ibnu ‘Umar dan Imam Ahmad. Mereka menganggap bahwa
ketidakjelasan yang ada bukanlah kejelasan yang membuat cacat
transaksi. Alasan lain, pembeli jika ia memberi syarat khiyar untuk
dirinya (memutuskan jadi atau tidaknya membeli) selama sehari atau dua
hari, itu boleh. Maka, jual beli ‘urbun ketika disyaratkan oleh penjual,
itu pun boleh.
Jika si pembeli misalnya mengembalikan barang setelah ia coba dahulu
(dan ini dengan kesepakatan), bisa jadi harga barang tersebut jatuh,
apalagi jika pembeli lain tahu. Maka si pembeli berinisiatif menutupi
kekurangan tersebut dengan memberi sejumlah uang. Hal ini dibolehkan.
Intinya, dengan uang muka terdapat maslahat bagi si penjual dan
pembeli. Pembeli dapat manfaat karena ia masih punya kesempatan untuk
menimbang-nimbang pembelian barang tersebut jika ia pakai uang muka.
Jika ia pakai uang muka, maka akad tersebut masih bisa
ditimbang-timbang. Jika pembeli melunasi langsung, ia tidak bisa
batalkan. Maka yang datang cuma penyesalan jika ia akhirnya tidak
menyukai barang tersebut. Penjual pun mendapatkan keuntungan. Jika tidak
terjadi kesepakatan, uang muka jadi miliknya untuk menutupi
kekurangannya, juga untuk menahan pembeli agar tidak pergi begitu saja.
Pendapat terkuat dalam masalah ini,
jual beli urbun atau uang muka, dibolehkan karena terdapat maslahat
bagi penjual dan pembeli, serta bukan termasuk jahalah dalam jual beli.
Dan besarnya uang muka di sini tergantung kesepakatan antara kedua belah
pihak yang melakukan transaksi. Demikian kesimpulan dari Syaikh
Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah. Lihat Fathu Dzil Jalali wal Ikrom bi Syarh Bulughil Marom, 9: 181-183.
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa
silam berkata, “Tidak mengapa memanfaatkan uang muka. Demikian pendapat
yang tepat dari pendapat ulama yang ada jika telah ada kesepakatan
antara penjual dan pembeli dalam hal itu ketika jual beli tidak
terjadi.” (Fatawa lit Tijaar wal A’maal, hal. 49).
Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia juga membolehkan jual beli urbun.
Mereka katakan bahwa ada amalan ‘Umar bin Khottob dalam hal ini. Imam
Ahmad juga mengatakan tidak mengapa. Ibnu ‘Umar pun membolehkannya.
Sa’id bin Al Musayyib juga berpendapat bolehnya. Ibnu Siirin mengatakan
bahwa tidak mengapa jika pembeli tidak suka pada barang lalu ia
mengembalikannya dan ia memberikan ganti rugi. Adapun hadits yang
melarang jual beli urbun adalah hadits dho’if. Hadits tersebut
didhoifkan oleh Imam Ahmad dan lainnya sehingga tidak bisa dijadikan
dalil pendukung. Lihat Fatawa Al Lajnah Ad Daimah 13: 133.
Demikian, semoga jadi ilmu yang bermanfaat. Wallahul muwaffiq.
Referensi:
Fathu Dzil Jalali wal Ikrom bi Syarh Bulughil Marom, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, terbitan Madarul Wathon, cetakan pertama, 1433 H.
Islamqa.com fatwa no. 12580.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar