Seperti diketahui, fenomena
kehadiran dakwah Salafiyah di Indonesia sejak dekade 80-an hingga kini cukup
mendapat perhatian khalayak pergerakan dakwah. Sebelumnya, istilah “salafi” dan
“salafiyah” sering digunakan oleh pesantren-pesantren Nahdlatul Ulama (NU) yang
sering disinonimkan dengan istilah “tradisional”.
Hakikatnya, tak ada persoalan
dengan istilah “salafi”. Sebab, secara harfiah berarti mengikuti kaum salaf,
yakni Rasulullah Saw dan para sahabat. Setiap Muslim tentu bertekad untuk
meneladani Rasulullah Saw dan, para sahabat dan tabi’in nya. Generasi beliau
(Nabi Saw), sahabat dan tabi’in adalah generasi terbaik umat ini. Generasi
iniah yang disebut Salaf ash-Shalih.
Di masa tabi’in dan
sesudahnya, guna menghadapi pemikiran dan keyakinan bid’ah, seperti Khawarij,
Syiah, Qadariyah, Murji’ah, Mu’tazilah dan lainnya, munculnya istilah Ahlu
Sunnah wal Jamaah. Istilah ini menegaskan keharusan umat Islam untuk
berpegang pada Al Qur’an dan Sunnah, dan agar umat Islam bersatu di dalamnya.
Dalam konteks kekinian,
kehadiran gerakan Salafi kontemporer mempunyai sejumlah nilai positif dalam
bentuk upaya menghidupkan sunnah, memerangi syirik dan bid’ah, menekankan
rujukan kepada para ulama yang keilmuannya diakui oleh kaum Muslimin dan
lainnya.
Secara sederhana, salafi
berarti orang-orang di zaman sekarang yang mengikuti generasi Salaf. Jadi,
Salaf yang dimaksud adalah tiga generasi islam permulaan (generasi Rasulullah
saw dan para sahabat ra, generasi Tabi’in dan gerenasi Tabi’ut Tabi’in) itulah
yang kerap disebut As-Salafus Shalih, yaitu para pendahulu umat Islam yang
shalih. Istilah Salafi merujuk pada pengertian, seseorang yang mengikuti ajaran
Salafus Shalih ra. Adapun bentuk jamak (plural) dari Salafi ialah Salafiyun atau
Salafiyin.
Menurut Am Waskito, “Kalau mau
jujur, sebenarnya mayoritas umat saat ini, mereka berpaham Salafi. Artinya,
mereka yang mengikuti jejak Salafus Shalih, yaitu Rasulullah, para sahabat,
para tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Mereka mengikuti ajaran yang ditinggalkan
oleh generasi terbaik dalam sejarah Islam itu.”
Namun, sayang, ada sebagian
orang yang ingin memonopoli dengan mengklaim dirinya sebagai pewaris tunggal
kebesaran Salafus Shalih. Dengan kata lain, tidak ada yang berhak mengklaim
nama Salaf (salafi), selain diri mereka sendiri. Ada sebagian orang yang
mengklaim dan membangga-bangga dirinya Salafi, tetapi hari-harinya disibukkan
untuk menjelek-jelekkan kelompok lain. Akibatnya, diantara mereka sendiri
terlibat perselisihan tajam,ada yang berpisah jalan, terbelah,hingga menebar
kebencian.
“Sebagian kalangan yang
mengaku diri sebagai Salafi sejati, tapi memaksa orang lain mengikuti pendapat
mereka dalam masalah-masalah yang sebetulnya bersifat ijtihadiyah atau
khilafiyah (dalam hal fiqih). Kemudian yang berbeda pendapat dengannya, akan
diperlakukan secara tidak adil, bahkan dianggap musuh yang harus diwaspadai.
Sebagai contoh, persoalan isbal (celana di atas mata kaki) yang sebetulnya
persoalan khilafiyah diperdebatkan seolah permasalahan besar, ” ungkap Ustadz
Abduh Zulfidah Akaha, penulis buku “Belajar dari Akhlak Ustadz Salafi”.
AM Waskito dan Abu Abdirrahman
Al Thalibi (dalam buku yang ditulisnya) menyebut salafi yang hobi menghujat
kelompok Islam lain dengan sebutan Salafi Ekstrem. Adapun Syaikh Abu Muhammad
Al-Maqdisi menyebutnya dengan Salafi Murji’ah.
Istilah Salafi yang
Diperselisihkan
Menurut Abu Abdirrahman Al
Thalibi (penulis buku Dakwah Salafiyah Dakwah Bijak), secara
bahasa, kalimat “Ana Salafi! Adalah kalimat yang rancu. Jika diterjemahkan
ia memiliki arti,“Aku ini Salafi! Salaf artinya dahulu, telah lalu,
atau orang jaman dulu. Salafi berarti orang jaman dulu. Tidak mungkin orang
yang hidup di jaman sekarang mengatakan, “Aku ini orang jaman dahulu.
Kalimat Ana
Salafi! Jika dikaitkan dengan As-Salafus Shalih,
mengandung makna kesombongan. Disana seseorang atau sebagian oranf merasa diri
telah menjadi pengikut terbaik Salafus Shalih. Harus disadari bahwa Salafus
Shalih adalah nenek moyang seluruh umat Islam, bukan hanya milik golongan
tertentu.
“Saya tidak risau jika tidak
disebut sebagai Salafi atau Salafiyun. Menurut saya, sebutan itu tidak penting,
tetapi lebih utama adalah pengamalan. Bahkan orang-orang di sekitar, menganggap
saya sebagai Salafi, tanpa saya memaksakan sebutan itu kepada mereka,” tulis
Thalibi.
Suatu hari Al Thalibi membaca
pembahasan tentang istilah Salafi. Syaikh Al Albani mengemukakan sebuah hadits
shahih, bahwa Nabi saw berkata kepada Fatimah ra, “Sebaik-baik Salaf bagimu
(wahai Fatimah) adalah aku (Nabi sendiri). (HR Muslim).
Setelah membaca dalil ini, Al
Thalibi merasa yakin Syaikh Albani telah menemukan dalil qath’i (jelas dan
tegas) yang telah membuktikan bahwa penggunaan istilah Salafi itu sesuai
syariat Islam. Hingga ketika menulis buku DSDB, ia masih menerima sebutan
Salafi.
Dalam sebuah catatan kaki, Al
Thalibi mengatakan, namun demikian, baik Fathimah maupun para sahabat, tidak
ada satupun yang mengatakan kepada keluarganya atau orang-orang yang akan
mereka tinggalkan, bahwa mereka adalah salaf bagi yang akan ditinggalkan.
Bahkan, tidak ada satu hadits pun yang menyebutkan bahwa para sahabat menyebut
diri mereka sebagai salaf ataupun Salafi.
Sekalipun penamaan “salafi”
ini benar menurut kaidah bahasa, tapi mengklaim bahwa ini adalah sunnah, adalah
sesuatu yang perlu dipertanyakan. Sebab secara tidak langsung hal ini sama saja
dengan mendeskreditkan para sahabat yang tidak menyebut diri mereka sebagai
salaf ataupun salafi. Padahal mereka adalah orang-orang terbaik umat ini.
Setelah menulis buku DSDB 2:
Menjawab Tuduhan (MT), Al Thalibi sudah tidak lagi memakai istilah Salafi, tapi
memilih istilah Ahlus Sunnah Wal Jamaah (atau Ahlu Sunnah).
Sepengetahuannya, istilah terakhir ini lebih memiliki dasar Syar’i daripada
istilah Salafi. Namun, untuk istilah Salafiyah dengan pengertian ajaran Salafus
Shalih, bukan sebutan bagi seseorang atau sekelompok orang dijaman
sekarang, ia masih menerimanya.
Salafi Hakiki adalah yang
seperti dgambarkan oleh Rasulullah saw: “…bersikap tegas kepada orang-orang
kafir, tetapi berkasih sayang dengan sesama mereka (sesama mukmin)…” (QS
AL-Fath: 29).
Bila mengurai beberapa ayat
Al-Qur’an tentang sifat-sifat para sahabat ra, maka dalam diri para Salafus
Shalih memiliki sifat-sifat mulia berikut ini:
1. Berakidah
lurus, beribadah kepada Allah, dengan tidak menjadikan bagi-Nya sekutu dalam
bentuk apapun.
2. Mengimami
Rasulullah Saw, membenarkan ajarannya, memuliakan Syari’atnya, membela
kemuliannya, serta berjalan di atas cahaya petunjuknya.
3. Sebagai
konsekuensi tauhid ialah munculnya Al Wala’ Wal Bara’, yaitu menetapkan Wala’
(Kesetiaan) kepada orang-orang yang beriman, dan menetapkan Bara’ (anti
kesetiaan) kepada orang-orang kafir.
4. Mengerjakan
shalat (berjamaah bagi laki-laki dewasa), menunaikan zakat, menginfakkan
sebagian rezeki disaat lapang maupun sempit.
5. Sikap
itsar, yang mendahulukan saudara mukmin, meskipun diri sendiri kukurangan dan
membutuhkan. Hidupnya bermanfaat bagi orang lain, ibarat pohon korma yang
sellau mengeluarkan buah di setiap musim.
6. Senantiasa
menyuruh berbuat kebaikan dan mencegah dari perbuatan buruk (menunaikan amar
makruf nahi munkar).
7. Berakhlak
mulia, menjauhi kesia-siaan, memelihara kehormatan diri, menunai amanah dan
jani-janji. Menahan amarah, memaafkan manusia, serta tidak melayanu perkataan
orang-orang jahil.
8. Senantiasa
berdzikir mengingat Allah di pagi dan petang, tidak lalain dari dzikir karena
kesibukan perdagangan, jual beli, pekerjaan dll.
9. Menunaikan
hak-hak persausaraan (ukhuwah), tidak menghina, tidak mencela, tidak memanggil
dengan gelaran buruk, menghindari prasangka buruk, tajassus (mencari-cari
kesalahan), dan ghibah (bergunjing).
10. Hatinya
lembut untuk senantiasa bertaubat, memohon ampun atas dosa-dosa, dan lekas
berhenti dari perbuatan keji.
11. Berjihad
di jalan Allah dengan harta dan jiwa, serta tidak melemah atau lesu menghadapi
segala resiko jihad di jalan Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar