Ketersambungan kaum muslim dengan Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam adalah melalui sanad ilmu atau sanad guru perantaraan
lisan-lisannya ulama-ulama yang sholeh dan tersambung kepada lisannya
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Tanpa sanad ilmu maka kemungkinannya adalah prasangka atau akal
pikiran manusia semata yang terkait dengan hawa nafsu atau kepentingan.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “di
dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran,
sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)
Dalam ilmu agama tidak ada hal yang baru, semua harus sesuai dengan
apa yang disampaikan oleh lisannya Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya “Sampaikan
dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar)
dari Bani Isra’il dan itu tidak apa (dosa). Dan siapa yang berdusta
atasku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di
neraka” (HR Bukhari)
Hakikat makna hadits tersebut adalah kita hanya boleh menyampaikan
satu ayat yang diperoleh dari para ulama yang sholeh dan disampaikan
secara turun temurun yang bersumber dari lisannya Sayyidina Muhammad bin
Abdullah Shallallahu alaihi wasallam. Oleh karenanya ulama dikatakan
sebagai pewaris Nabi.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Ulama adalah pewaris para nabi” (HR At-Tirmidzi).
Ulama pewaris Nabi artinya menerima dari ulama-ulama yang sholeh
sebelumnya yang tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam.
Pada hakikatnya Al Qur’an dan Hadits disampaikan tidak dalam bentuk
tulisan namun disampaikan melalui lisan ke lisan para ulama yang sholeh
dengan imla atau secara hafalan.
Dalam khazanah Islam, metode hafalan merupakan bagian integral dalam
proses menuntut ilmu. Ia sudah dikenal dan dipraktekkan sejak zaman
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Setiap menerima wahyu, Beliau
langsung menyampaikan dan memerintahkan para Sahabat untuk
menghafalkannya. Sebelum memerintahkan untuk dihafal, terlebih dahulu
beliau menafsirkan dan menjelaskan kandungan dari setiap ayat yang baru
diwahyukan sesuai dengan firmanNya dalam (QS. An Nahl [16] : 44).
Jika kita telusuri lebih jauh, perintah baginda Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam untuk menghafalkan Al-Qur’an bukan hanya
karena kemuliaan, keagungan dan kedalaman kandungannya, tapi juga untuk
menjaga otentisitas Al-Qur’an itu sendiri. Makanya hingga kini, walaupun
sudah berusia sekitar 1400 tahun lebih, Al-Qur’an tetap terjaga
orisinalitasnya. Kaitan antara hafalan dan otentisitas Al-Qur’an ini
tampak dari kenyataan bahwa pada prinsipnya, Al-Qur’an bukanlah
“tulisan” (rasm), tetapi “bacaan” (qira’ah). Artinya, ia adalah ucapan
dan sebutan.
Proses turun-(pewahyuan)-nya maupun penyampaian, pengajaran dan
periwayatan-(transmisi)-nya, semuanya dilakukan secara lisan dan
hafalan, bukan tulisan. Karena itu, dari dahulu yang dimaksud dengan
“membaca” Al-Qur’an adalah membaca dari ingatan (qara’a ‘an zhahri
qalbin).
Dengan demikian, sumber semua tulisan itu sendiri adalah hafalan,
atau apa yang sebelumnya telah tertera dalam ingatan sang qari’.
Sedangkan fungsi tulisan atau bentuk kitab sebagai penunjang semata.
Demikian halnya dengan hafalan Al-Hadits, juga sangat berperan dalam
menjaga otentisitas dan keberlangsungan Hadits-Hadits Nabi shallallahu
alaihi wasallam. Sebagaimana kita ketahui, sepanjang hidup Nabi
shallallahu alaihi wasallam, tidak banyak Sunnah yang ditulis melainkan
dihafal. Ini sesuai perintah beliau sendiri, mengingat di masa itu
pembelajaran sahabat lebih terfokus kepada Al-Qur’an.
Zaid bin Tsabit RA berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda: Semoga Allah mencerahkan
(mengelokkan rupa) orang yang mendengar Hadits dariku, lalu dia
menghafalnya-dalam lafadz riwayat lain: lalu dia memahami dan
menghafalnya- kemudian dia menyampaikannya kepada orang lain. Terkadang
orang yang membawa ilmu agama menyampaikannya kepada orang yang lebih
paham darinya, dan terkadang orang yang membawa ilmu agama tidak
memahaminya” (Hadits Shahih Riwayat Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu
Majah, ad-Darimi, Ahmad, Ibnu Hibban, at-Thabrani dalam al-Mu’jamul
Kabir, dan imam-imam lainnya).
Dari hadits tersebut kita paham memang ada perawi yang sekedar menghafal saja tanpa memahami hadits yang dihafalnya.
Oleh karenanya untuk menjaga kemurnian ilmu agama lebih baik dengan
cara bertalaqqi (mengaji) dengan ulama-ulama yang sholeh sebelumnya.
Salah satu ciri dalam metode pengajaran talaqqi adalah sanad. Pada asalnya, istilah sanad atau isnad hanya digunakan dalam bidang ilmu hadits (Mustolah Hadits) yang merujuk kepada hubungan antara perawi dengan perawi sebelumnya pada setiap tingkatan yang berakhir kepada Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- pada matan haditsnya.
Namun, jika kita merujuk kepada lafadz Sanad itu sendiri dari segi bahasa, maka penggunaannya sangat luas. Dalam Lisan Al-Arab misalnya disebutkan: “Isnad
dari sudut bahasa terambil dari fi’il “asnada” (yaitu menyandarkan)
seperti dalam perkataan mereka: Saya sandarkan perkataan ini kepada si
fulan. Artinya, menyandarkan sandaran, yang mana ia diangkatkan kepada
yang berkata. Maka menyandarkan perkataan berarti mengangkatkan
perkataan (mengembalikan perkataan kepada orang yang berkata dengan
perkataan tersebut)“.
Jadi, metode isnad tidak terbatas pada bidang ilmu hadits.
Karena tradisi pewarisan atau transfer keilmuwan Islam dengan metode
sanad telah berkembang ke berbagai bidang keilmuwan. Dan yang paling
kentara adalah sanad talaqqi dalam aqidah dan mazhab fikih yang
sampai saat ini dilestarikan oleh ulama dan universitas Al-Azhar
Asy-Syarif. Hal inilah yang mengapa Al-Azhar menjadi sumber ilmu
keislaman selama berabad-abad. Karena manhaj yang di gunakan adalah
manhaj shahih talaqqi yang memiliki sanad yang jelas dan sangat
sistematis. Sehingga sarjana yang menetas dari Al-azhar adalah tidak
hanya ahli akademis semata tapi juga alim.
Sanad ini sangat penting, dan merupakan salah satu kebanggaan Islam
dan umat. Karena sanad inilah Al-Qur’an dan sunah Nabawiyah terjaga dari
distorsi kaum kafir dan munafik. Karena sanad inilah warisan Nabi tak
dapat diputar balikkan.
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama,
kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja
yang mau dengan apa saja yang diinginkannya.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )
Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.
Imam Malik ra berkata: “Janganlah engkau membawa ilmu (yang kau
pelajari) dari orang yang tidak engkau ketahui catatan (riwayat)
pendidikannya (sanad ilmu)”
Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”
Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Selain sanad, ciri dalam manhaj pengajaran talaqqi adalah ijazah.
Ijazah ada yang secara tertulis dan ada yang hanya dengan lisan.
Memberikan ijazah sangat penting. Menimbang agar tak terjadinya penipuan
dan dusta dalam penyandaran seseorang. Apalagi untuk zaman sekarang
yang penuh kedustaan, ijazah secara tertulis menjadi suatu keharusan
Tradisi ijazah ini pernah dipraktekkan oleh Nabi shallallahu alaihi
wasallam ketika memberikan ijazah (baca: secara lisan) kepada beberapa
Sahabat ra. dalam keahlian tertentu. Seperti keahlian sahabat di bidang
Al-Qur’an.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian adalah orang yang paling baik akhlaknya‘. Dan beliau juga bersabda: “Ambillah
bacaan Al Qur’an dari empat orang. Yaitu dari ‘Abdullah bin Mas’ud,
kemudian Salim, maula Abu Hudzaifah, lalu Ubay bin Ka’ab dan Mu’adz bin
Jabal.” (Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim).
Ciri seorang ulama masih tersambung sanad ilmunya adalah pendapatnya
tidak bertentangan dengan ulama-ulama yang sholeh sebelumnya dan tidak
pula bertentangan dengan pendapat Imam Mazhab yang empat. Selain itu
ciri seorang ulama masih tersambung sanad ilmunya adalah ulama yang
berakhlakul karimah atau ulama yang sholeh
Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaikan bahwa “maksud
dari pengijazahan sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar
untuk meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu
mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga
meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya
dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaan
al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh, makna dan
pengamalan“
Ulama yang sholeh adalah tanda ulama yang telah meraih maqom
disisiNya, ulama yang selalu berada dalam kebenaran karena telah
mendapatkan karunia ni’mat dari Allah sehingga berada di jalan yang
lurus.
Firman Allah ta’ala
”...Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya,
niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji
dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang
dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)
“Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan
(menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu
mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik. (QS Shaad [38]:46-47)
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (QS Al Hujuraat [49]:13)
“Tunjukilah kami jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:6-7)
“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu
akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah,
yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan
orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69)
Alhamdulillah jelas dan mantap penjelasanya..
BalasHapus