Oleh :
Ustaz Muhammmad Arifin Ilham
Hati
adalah tempat mangkalnya berbagai perasaan, tumbuh kembang antara kebaikan dan
keburukan. Hati juga menjadi sumber ilham dan permasalahan, tempat lahirnya
cinta dan kebencian, serta muara bagi keimanan dan kekufuran.
Hati
juga sumber kebahagiaan jika sang pemiliknya mampu membersihkan berbagai
kotorannya yang berserakan, namun sebaliknya ia merupakan sumber bencana jika
sang empunya gemar mengotorinya.
Hati
yang kotor hanya akan menyebabkan kapasitas ruangnya menjadi pengap, sumpek,
gelap, dan bahkan mati. Jika sudah mati seluruh komponen juga akan turut mati.
Dalam makna yang sama, Abu Hurairah RA berkata, “Hati ibarat panglima,
sedangkan anggota badan adalah tentara. Jika panglima itu baik maka akan baik
pulalah tentaranya. Jika raja itu buruk maka akan buruk pula tentaranya.”
Pada
akhirnya kita bisa mengenali dalam keadaan apa hati seseorang itu mati. Di
antaranya adalah pertama, taarikush shalah, meninggalkan shalat dengan tanpa
uzur atau tidak dengan alasan yang dibenarkan oleh syar’i. (QS Maryam [19]:
59).
Imbas
dari seringnya meninggalkan shalat adalah kebiasaan memperturutkan hawa nafsu.
Dan, kalau sudah demikian, dia akan menabung banyak kemaksiatan dan dosa. Ibnu
Mas’ud menafsirkan kata ‘ghoyya’ dalam ayat tersebut dengan sebuah aliran
sungai di Jahanam (neraka) yang makanannya sangat menjijikkan. Bahkan,
tempatnya sangat dalam dan diperuntukkan bagi mereka yang membiarkan dirinya
larut dalam kemaksiatan.
Kedua,
adz-dzanbu bil farhi, melakukan kemaksiatan dan dosa dengan bangga. Alih-alih
merasa berdosa dan menyesal, justru si pemilik hati yang mati, ia teramat
menikmati kemaksiatan dan dosanya. (QS al-A’raf [7]: 3).
Ketiga,
karhul Qur’an, benci pada Alquran. Seorang Muslim, jelas memiliki pedoman yang
menyelamatkan, yaitu Alquran. Tapi, justru ia enggan berpedoman dan mencari
selamat dengan kitab yang menjadi mukjizat penuntun sepanjang zaman ini.
Bahkan, ia membencinya dan tidak senang terhadap orang atau sekelompok orang yang
berkhidmat dan bercita-cita luhur dengan Alquran.
Keempat,
hubbul ma’asyi, gemar bermaksiat dan mencintai kemaksiatan. Nafsu yang
diperturutkan akan mengantarkan mata hatinya tertutup, sehingga susah mengakses
cahaya Ilahi. Sehingga, ia lebih senang maksiat daripada ibadah.
Kelima,
asikhru, sibuk hanya mempergunjing dan buruk sangka serta merasa dirinya selalu
lebih suci. Keenam, ghodbul ulamai, sangat benci dengan nasihat baik dan
fatwa-fatwa ulama. Berikutnya, qolbul hajari, tidak ada rasa takut akan peringatan
kematian, alam kubur, dan akhirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar