Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Penulisan dan pengumpulan Al-Qur’an melewati tiga jenjang.
Tahap Pertama.
Zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada jenjang ini penyandaran pada hafalan lebih banyak daripada penyandaran pada tulisan karena hafalan para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum sangat kuat dan cepat di samping sedikitnya orang yang bisa baca tulis dan sarananya. Oleh karena itu siapa saja dari kalangan mereka yang mendengar satu ayat, dia akan langsung menghafalnya atau menuliskannya dengan sarana seadanya di pelepah kurma, potongan kulit, permukaan batu cadas atau tulang belikat unta. Jumlah para penghapal Al-Qur’an sangat banyak
Zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pada jenjang ini penyandaran pada hafalan lebih banyak daripada penyandaran pada tulisan karena hafalan para Sahabat Radhiyallahu ‘anhum sangat kuat dan cepat di samping sedikitnya orang yang bisa baca tulis dan sarananya. Oleh karena itu siapa saja dari kalangan mereka yang mendengar satu ayat, dia akan langsung menghafalnya atau menuliskannya dengan sarana seadanya di pelepah kurma, potongan kulit, permukaan batu cadas atau tulang belikat unta. Jumlah para penghapal Al-Qur’an sangat banyak
Dalam kitab Shahih Bukhari [1] dari Anas Ibn Malik Radhiyallahu ‘anhu
bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus tujuh puluh
orang yang disebut Al-Qurra’. Mereka dihadang dan dibunuh oleh penduduk
dua desa dari suku Bani Sulaim ; Ri’l dan Dzakwan di dekat sumur
Ma’unah. Namun di kalangan para sahabat selain mereka masih banyak para
penghapal Al-Qur’an, seperti Khulafaur Rasyidin, Abdullah Ibn Mas’ud,
Salim bekas budak Abu Hudzaifah, Ubay Ibn Ka’ab, Mu’adz Ibn Jabal, Zaid
Ibn Tsabit dan Abu Darda Radhiyallahu ‘anhum.
Tahap Kedua
Pada zaman Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu tahun dua belas Hijriyah. Penyebabnya adalah : Pada perang Yamamah banyak dari kalangan Al-Qurra’ yang terbunuh, di antaranya Salim bekas budak Abu Hudzaifah ; salah seorang yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengambil pelajaran Al-Qur’an darinya.
Pada zaman Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu tahun dua belas Hijriyah. Penyebabnya adalah : Pada perang Yamamah banyak dari kalangan Al-Qurra’ yang terbunuh, di antaranya Salim bekas budak Abu Hudzaifah ; salah seorang yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengambil pelajaran Al-Qur’an darinya.
Maka Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan
Al-Qur’an agar tidak hilang. Dalam kitab Shahih Bukahri [2] disebutkan,
bahwa Umar Ibn Khaththab mengemukakan pandangan tersebut kepada Abu
Bakar Radhiyallahu ‘anhu setelah selesainya perang Yamamah. Abu Bakar
tidak mau melakukannya karena takut dosa, sehingga Umar terus-menerus
mengemukakan pandangannya sampai Allah Subhanahu wa Ta’ala membukakan
pintu hati Abu Bakar untuk hal itu, dia lalu memanggil Zaid Ibn Tsabit
Radhiyallahu ‘anhu, di samping Abu Bakar bediri Umar, Abu Bakar
mengatakan kepada Zaid : “Sesunguhnya engkau adalah seorang yang masih
muda dan berakal cemrerlang, kami tidak meragukannmu, engkau dulu pernah
menulis wahyu untuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka
sekarang carilah Al-Qur’an dan kumpulkanlah!”, Zaid berkata : “Maka
akupun mencari dan mengumpulkan Al-Qur’an dari pelepah kurma, permukaan
batu cadas dan dari hafalan orang-orang. Mushaf tersebut berada di
tangan Abu Bakar hingga dia wafat, kemudian dipegang oleh Umar hingga
wafatnya, dan kemudian di pegang oleh Hafsah Binti Umar Radhiyallahu
‘anhuma. Diriwayatkan oleh Bukhari secara panjang lebar.
Kaum muslimin saat itu seluruhnya sepakat dengan apa yang dilakukan
oleh Abu Bakar, mereka menganggap perbuatannya itu sebagai nilai positif
dan keutamaan bagi Abu Bakar, sampai Ali Ibn Abi Thalib Radhiyallahu
‘anhu mengatakan : “Orang yang paling besar pahalanya pada mushaf
Al-Qur’an adalah Abu Bakar, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi
rahmat kepada Abu Bakar karena, dialah orang yang pertama kali
mengumpulkan Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Tahap Ketiga
Pada zaman Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu pada tahun dua puluh lima Hijriyah. Sebabnya adalah perbedaan kaum muslimin pada dialek bacaan Al-Qur’an sesuai dengan perbedaan mushaf-mushaf yang berada di tangan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Hal itu dikhawatirkan akan menjadi fitnah, maka Utsman Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan mushaf-mushaf tersebut menjadi satu mushaf sehingga kaum muslimin tidak berbeda bacaannya kemudian bertengkar pada Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akhirnya berpecah belah.
Pada zaman Amirul Mukminin Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu pada tahun dua puluh lima Hijriyah. Sebabnya adalah perbedaan kaum muslimin pada dialek bacaan Al-Qur’an sesuai dengan perbedaan mushaf-mushaf yang berada di tangan para sahabat Radhiyallahu ‘anhum. Hal itu dikhawatirkan akan menjadi fitnah, maka Utsman Radhiyallahu ‘anhu memerintahkan untuk mengumpulkan mushaf-mushaf tersebut menjadi satu mushaf sehingga kaum muslimin tidak berbeda bacaannya kemudian bertengkar pada Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akhirnya berpecah belah.
Dalam kitab Shahih Bukhari [3] disebutkan, bahwasanya Hudzaifah Ibnu
Yaman Radhiyallahu ‘anhu datang menghadap Utsman Ibn Affan Radhiyallahu
‘anhu dari perang pembebasan Armenia dan Azerbaijan. Dia khawatir
melihat perbedaaan mereka pada dialek bacaan Al-Qur’an, dia katakan :
“Wahai Amirul Mukminin, selamtakanlah umat ini sebelum mereka berpecah
belah pada Kitab Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti perpecahan kaum
Yahudi dan Nasrani!” Utsman lalu mengutus seseorang kepada Hafsah
Radhiyallahu ‘anhuma : “Kirimkan kepada kami mushaf yang engkau pegang
agar kami gantikan mushaf-mushaf yang ada dengannya kemudian akan kami
kembalikan kepadamu!”, Hafshah lalu mengirimkan mushaf tersebut.
Kemudian Utsman memerintahkan Zaid Ibn Tsabit, Abdullah Ibn
Az-Zubair, Sa’id Ibnul Ash dan Abdurrahman Ibnul Harits Ibn Hisyam
Radhiyallahu ‘anhum untuk menuliskannya kembali dan memperbanyaknya.
Zaid Ibn Tsabit berasal dari kaum Anshar sementara tiga orang yang lain
berasal dari Quraisy. Utsman mengatakan kepada ketiganya : “Jika kalian
berbeda bacaan dengan Zaid Ibn Tsabit pada sebagian ayat Al-Qur’an, maka
tuliskanlah dengan dialek Quraisy, karena Al-Qur’an diturunkan dengan
dialek tersebut!”, merekapun lalu mengerjakannya dan setelah selesai,
Utsman mengembalikan mushaf itu kepada Hafshah dan mengirimkan hasil
pekerjaan tersebut ke seluruh penjuru negeri Islam serta memerintahkan
untuk membakar naskah mushaf Al-Qur’an selainnya.
Utsman Radhiyallahu ‘anhu melakukan hal ini setelah meminta pendapat
kepada para sahabat Radhiyalahu ‘anhum yang lain sesuai dengan apa yang
diriwayatkan oleh Abu Dawud [4] dari Ali Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya
dia mengatakan : “Demi Allah, tidaklah seseorang melakukan apa yang
dilakukan pada mushaf-mushaf Al-Qur’an selain harus meminta pendapat
kami semuanya”, Utsman mengatakan : “Aku berpendapat sebaiknya kita
mengumpulkan manusia hanya pada satu Mushaf saja sehingga tidak terjadi
perpecahan dan perbedaan”. Kami menjawab : “Alangkah baiknya pendapatmu
itu”.
Mush’ab Ibn Sa’ad [5] mengatakan : “Aku melihat orang banyak ketika
Utsman membakar mushaf-mushaf yang ada, merekapun keheranan melihatnya”,
atau dia katakan : “Tidak ada seorangpun dari mereka yang
mengingkarinya, hal itu adalah termasuk nilai positif bagi Amirul
Mukminin Utsman Ibn Affan Radhiyallahu ‘anhu yang disepakati oleh kaum
muslimin seluruhnya. Hal itu adalah penyempurnaan dari pengumpulan yang
dilakukan Khalifah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Abu Bakar
Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu.
Perbedaan antara pengumpulan yang dilakukan Utsman dan pengumpulan
yang dilakukan Abu Bakar Radhiyallahu anhuma adalah : Tujuan dari
pengumpulan Al-Qur’an di zaman Abu Bakar adalah menuliskan dan
mengumpulkan keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an dalam satu mushaf agar
tidak tercecer dan tidak hilang tanpa membawa kaum muslimin untuk
bersatu pada satu mushaf ; hal itu dikarenakan belih terlihat pengaruh
dari perbedaan dialek bacaan yang mengharuskannya membawa mereka untuk
bersatu pada satu mushaf Al-Qur’an saja.
Sedangkan tujuan dari pengumpulan Al-Qur’an di zaman Utsman
Radhiyallahu ‘anhu adalah : Mengumpulkan dan menuliskan Al-Qur’an dalam
satu mushaf dengan satu dialek bacaan dan membawa kaum muslimin untuk
bersatu pada satu mushaf Al-Qur’an karena timbulnya pengaruh yang
mengkhawatirkan pada perbedaan dialek bacaan Al-Qur’an.
Hasil yang didapatkan dari pengumpulan ini terlihat dengan timbulnya
kemaslahatan yang besar di tengah-tengah kaum muslimin, di antaranya :
Persatuan dan kesatuan, kesepakatan bersama dan saling berkasih sayang.
Kemudian mudharat yang besarpun bisa dihindari yang di antaranya adalah :
Perpecahan umat, perbedaan keyakinan, tersebar luasnya kebencian dan
permusuhan.
Mushaf Al-Qur’an tetap seperti itu sampai sekarang dan disepakati
oleh seluruh kaum muslimin serta diriwayatkan secara Mutawatir.
Dipelajari oleh anak-anak dari orang dewasa, tidak bisa dipermainkan
oleh tangan-tangan kotor para perusak dan tidak sampai tersentuh oleh
hawa nafsu orang-orang yang menyeleweng.
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala Tuhan langit, Tuhan bumi dan Tuhan sekalian alam.
[Disalin dari kitab Ushuulun Fie At-Tafsir edisi Indonesia Belajar
Mudah Ilmu Tafsir oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit
Pustaka As-Sunnah, Penerjemah Farid Qurusy]
________
Footnote
[1]. Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab Al-Jihad, Bab Al-Aunu Bil Madad, hadits nomor 3064
[2]. Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab At-Tafsir, Bab Qauluhu Ta’ala : Laqad jaa’akum Rasuulun Min Anfusikum Aziizun Alaihi Maa Anittum … al-ayat
[3]. Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab Fadhaailul Qur’an, Bab Jam’ul Qur’an, hadits nomor 4978
[4]. Diriwayatkan oleh Al-Khatib dalam Kitabnya Al-Fashl Lil Washl Al-Mudraj, jilid : 2 halaman 954, dalam sanadnya terdapat rawi bernama Muhammad Ibn Abban Al-Ju’fi (Al-Ilal karya Ad-Daruquthni, jilid 3, halaman 229-230), Ibn Ma’in mengatakan : “Dia dha’if (Al-Jarhu wat Ta’dil karya Ar-Razi, jilid 7 halam 200.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab Al-Mashaahif halaman 22
[5]. Diriwayatklan oleh Abu Dawud dalam Kitab Al-Mashaahif, Hal. 12
________
Footnote
[1]. Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab Al-Jihad, Bab Al-Aunu Bil Madad, hadits nomor 3064
[2]. Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab At-Tafsir, Bab Qauluhu Ta’ala : Laqad jaa’akum Rasuulun Min Anfusikum Aziizun Alaihi Maa Anittum … al-ayat
[3]. Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab Fadhaailul Qur’an, Bab Jam’ul Qur’an, hadits nomor 4978
[4]. Diriwayatkan oleh Al-Khatib dalam Kitabnya Al-Fashl Lil Washl Al-Mudraj, jilid : 2 halaman 954, dalam sanadnya terdapat rawi bernama Muhammad Ibn Abban Al-Ju’fi (Al-Ilal karya Ad-Daruquthni, jilid 3, halaman 229-230), Ibn Ma’in mengatakan : “Dia dha’if (Al-Jarhu wat Ta’dil karya Ar-Razi, jilid 7 halam 200.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab Al-Mashaahif halaman 22
[5]. Diriwayatklan oleh Abu Dawud dalam Kitab Al-Mashaahif, Hal. 12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar