Tidak
dikabulkannya doa selalu memiliki banyak hikmah yang harus kita pahami. Berikut
ini diantara hikmah-hikmah tersebut.
Pertama, penundaan terkabulnya doa merupakan
salah satu bentuk ujian dari Allah kepada seseorang. Allah ingin menguji iman
orang itu. Ketika doa tidak segera dikabulkan, syetan membisikkan pikiran jahat
kepada seseorang, dengan berkata kepadanya, “Apa yang kita minta itu ada pada
Allah. Tetapi mengapa doa kita tidak segera dikabulkan?” Begitu pula, syetan
akan menyusupkan bisikan-bisikan jahat lainnya. Setiap muslim harus melawan
bisikan-bisikan jahat seperti itu dan mengusirnya dari dirinya, dengan segala
sarana. Ia harus sadar bahwa bisa jadi Allah tidak segera mengabulkan doanya
karena Allah hendak menguji imannya. Ketika doa tidak segera dikabulkan, maka
iman seseorang teruji dan terlihatlah perbedaan antara orang beriman sejati
dengan orang beriman gadungan. Sikap seorang mukmin tidak akan berubah terhadap
Tuhannya hanya karena doanya tidak segera dikabulkan dan malah ia semakin rajin
beribadah kepada-Nya.
Kedua, tidak segera dikabulkannya doa
semestinya membuat seorang muslim tahu dan menyadari sebuah hakikat penting.
Yaitu bahwa ia adalah hamba Allah, sementara Allah iadalah pemilik
segala-galanya. Pemilik berhak berbuat apa saja terhadap miliknya, baik memberi
ataupun tidak memberi. Jika Allah mau memberi, maka itu salah satu bentuk
keadilan-Nya dan Ia pasti punya alasan yang kuat untuk itu. Sedangkan jika Ia
tidak memberi, itupun salah satu bentuk keadilan-Nya dan Ia juga pasti punya
alasan yang kuat untuk itu. Ada baiknya kita merenungkan sabda Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam setelah Perdamaian Hudaibiyah yang sepintas lalu
merugikan Rasulullah dan kaum muslimin. Ketika itu beliau bersabda,”Aku
Rasulullah dan Allah tidak akan pernah akan menelantarkan aku.” (HR Al-Bukhari,
Muslim, dan Ahmad).
Ketiga, terkadang doa yang tidak segera
dikabulkan justru akan membuat kita semakin dekat kepada Allah, terus bersimpuh
di hadapan-Nya, selalu merendahkan diri dan berlindung diri kepada-Nya.
Sebaliknya, tidak jarang jika permintaan kita dikabulkan, maka kita menjadi
lebih sibuk, lalu kita tidak lagi ingat kepada Allah, tidak meminta dan berdoa
kepada-Nya, padahal keduanya adalah inti ibadah. Inilah realitas sebagian besar
kita. Buktinya, jika tidak ada cobaan maka kita tidak berlindung kepada Allah.
Keempat, bisa jadi terkabulnya doa kita justru
akan menjadikan kita berbuat dosa, akan berdampak buruk pada agama kita, atau
akan menjadi fitnah bagi kita. Atau bisa juga apa yang kita minta itu sepintas
lalu baik bagi kita padahal sebenarnya tidak baik bagi kita. Yang demikian ini
terutama bagi seseorang yang mengajukan permintaan tertentu yang sangat spesifik
kepada Allah dan tidak berdoa dengan doa-doa yang telah dituntunkan dalam
Al-Qur’an atau yang diriwayatkan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Karena itu hendaknya kita memperhatikan doa-doa yang ada dalam Al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah.
Kelima, setiap doa punya ketentuan dan
takaran. Adalah tidak masuk akal, hari ini seseorang yang amat miskin dan tidak
melakukan usaha yang signifikan berdoa agar ia menjadi milyarder kaya raya pada
esok paginya. Doa memiliki takaran, syarat, sebab, prolog, kerja keras, dan
bahkan pengorbanan yang besar.
Kita
harus ingat bahwa ketika Nabi Ya’qub ‘alaihissalam kehilangan anak
kesayangannya, Nabi Yusuf ‘alaihissalam, beliau tidak henti-hentinya berdoa dan
berdoa. Tapi pengabulan doa beliau tertunda hingga waktu yang lama, hingga ada
yang mengatakan, “Nabi Ya’qub berdoa selama empat puluh tahun.” Penderitaan dan
cobaan yang dialami Nabi Ya’qub ‘alaihissalam semakin meningkat. Anaknya yang
lain, Bunyamin, juga hilang, sampai-sampai kedua matanya buta karena kesedihan yang
mendalam. Kendati demikian, beliau tetap optimis bahwa semua penderitaan
tersebut suatu saat akan berakhir. Ketika itulah, beliau berkata,“Mudah-mudahan
Allah mendatangkan mereka semua kepadaku, sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi
Maha Bijaksana.” (Yusuf: 83).
Demikian
pula, Nabi Musa ‘alaihissalam pernah berdoa kepada Allah “Ya Tuhan kami,
sesungguhnya Engkau memberi kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan
dan harta kekayaan pada kehidupan dunia. Ya Tuhan kami, akibatnya mereka
menyesatkan (manusia) dari jalan-Mu. Ya Tuhan kami, binasakan harta benda
mereka, dan kuncilah mati hati mereka, karena mereka tidak beriman hingga
mereka melihat siksaan yang pedih.” (Yunus: 88).
Namun
konon Allah baru mengabulkan doa beliau tersebut, sebagaimana yang dinyatakan
oleh Allah “Sesungguhnya permohonan kalian berdua dikabulkan” (Yunus: 89),
setelah empat puluh tahun lamanya! Padahal yang berdoa adalah Nabi Musa
‘alaihissalam, salah seorang dari rasul-rasul Ulul ‘Azmi, sedangkan yang
mengamininya adalah Nabi Harun ‘alaihissalam, seorang nabi yang mulia. Keduanya
telah memenuhi semua syarat dan etika berdoa. Sementara pihak yang didoakan
celaka ialah Fir’aun dan konco-konconya, yang sudah jelas manusia paling
dzalim, fasik, dan kafir saat itu. Meski begitu, doa Nabi Musa tidak segera
dikabulkan Allah, sebab doa tersebut adalah doa yang tidak sembarang doa.
Diperlukan kerja keras dan pengorbanan untuk mewujudkannya. Itulah yang
dimaksud dengan takaran doa. Dan ini harus benar-benar kita pahami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar