Gelang
di tangan orang yang hendak dirampas tidak dapat, cincin di jari sendiri
terlucut hilang. Begitulah peribahasa Melayu menggambarkan keadaan orang yang
menyimpan rasa dengki. Harapan ingin mendapatkan milik orang tak didapatkan,
namun sesuatu yang menjadi milik sendiri dikorbankan. Karena sejatinya
pendengki selalu rugi, tak ada keuntungan sedikitpun bagi pendengki. Bahkan,
gambaran peribahasa tersebut belum cukup menggambarkan total kerugian orang
yang dialami orang yang terjangkiti penyakit dengki.
Derita Para Pendengki
Tak
ada yang lebih patut dikasihani melebihi orang yang menderita penyakit dengki.
Jika umumnya manusia berpikir dan berbuat untuk sesuatu yang menguntungkan
dirinya, atau sekedar menyenangkan hatinya, tidak demikian halnya dengan
pendengki. Tak ada keuntungan sedikitpun yang dihasilkan pendengki. Tak ada
pula kesenangan hati yang dipanen oleh orang yang hasud.
Kerisauan
hati yang tak putus-putus, dialami oleh pendengki saat melihat orang lain
mendapat nikmat. Semakin banyak nikmat disandang orang lain, makin menguat
gelisah hati pendengki. Ini tidak akan berakhir hingga nikmat tersebut hilang
dari orang yang didengki, bahkan terkadang belum terobati juga rasa dengki itu
sebelum orang yang didengki tertimpa banyak kerugian. Dari sini kita tahu,
betapa jahat seorang pendengki, ia tidak rela melihat orang lain bahagia,
sebaliknya ia bersuka cita melihat orang lain bergelimang lara. Allah Ta’ala
menggambarkan sikap dengki ini dalam firmanNya, “Bila kamu memperoleh
kebaikan, maka hal itu menyedihkan mereka, dan kalau kamu ditimpa kesusahan
maka mereka girang karenanya.” (QS. Ali Imran: 120)
Berbeda
dengan kesedihan atau musibah yang dialami oleh orang yang bersabar, kegalauan
yang terus menerus dirasakan oleh pendengki adalah musibah berat yang sama
sekali tidak mendatangkan pahala, bahkan berpotensi menggerogoti kebaikan,
sebagaimana api melalap kayu bakar yang telah kering.
Nabi
SAW bersabda, ”Hindarilah oleh kalian hasad, karena hasad bisa memakan
kebaikan sebagaimana api melalap kayu bakar.” (HR Abu Dawud)
Maksud
memakan kebaikan adalah menghilangkannya, membakarnya dan menghapus
pengaruhnya, seperti yag disebutkan dalam Kitab Faidlul Qadiir. Ini juga
menunjukkan bahwa kebaikan itu bisa sirna dalam sekejap jika terbakar oleh
kedengkian. Makin besar api kedengkian, makin cepat melalap habis kebaikan.
Al-Manawi di dalam at-Taisir bi Syarhi al-Jami’is Shaghir menjelaskan sebab
dihilangkannya kebaikan pendengki adalah, “karena orang yang dengki itu berarti
menganggap Allah Ta’ala jahil, tidak bisa memberikan sesuatu sesuai dengan
proporsinya.” Ia menganggap Allah salah dalam mengalamatkan nikmat dan karunia.
Seakan ia lebih tahu dari Allah tentang siapa yang lebih layak untuk
mendapatkannya. Sehingga layaklah pendengki dihilangkan kebaikan-kebaikannya.
Sungguh rugi para pendengki, selalu risau di dunia, terancam bangkrut di
akhirat.
Membahayakan Diri dan Orang Lain
Efek
kedengkian semakin parah ketika pendengki berambisi melampiaskan kedengkiannya.
Makin kuat kedengkian dan ambisi melampiaskan, makin besar pula dosa dan bahaya
yang ditimbulkan. Baik mengenai diri sendiri, maupun orang lain. Bahkan dosa
pertama yang dilakukan oleh iblis disebabkan oleh dengki. Dia menganggap
dirinya lebih layak mendapat penghormatan daripada Adam. Karenanya, Iblis
berani menentang perintah Allah yang menyuruhnya bersujud. Jadilah iblis
sebagai makhluk yang terkutuk, dan dipastikan bakal menempati neraka selamanya.
Kedengkian berlanjut, Iblis berusaha dan akhirnya berhasil menggelincirkan
Adam. Belum puas, Iblis bersumpah untuk menggoda dan menyesatkan semua
keturunan Adam selagi mampu. Dari sini lahirlah segala bentuk kemaksiatan dan dosa
yang merupakan syi’ar Iblis dan siasatnya untuk menjerumuskan anak Adam. Sekali
lagi, ini bermula dari hasad. Maka hendaknya orang yang menaruh kedengkiannya
kepada saudaranya segera menyudahi, sebelum melahirkan segala bentuk dosa yang
belum terbayangkan sebelumnya.
Pembunuhan
pertama yang terjadi di jagad raya yang dilakukan oleh Qabil terhadap Habil
juga disebabkan oleh dengki. Qabil tak bisa menerima kenyataan atas nikmat yang
dianugerahkan Allah kepada Habil, saudara kembarnya. Dari sebab yang sepele
ini, ketika dipicu oleh dengki, akhirnya berujung kepada pembunuhan yang
dilakukan Qabil terhadap saudaranya.
Dan
memang, umumnya kedengkian tertuju kepada orang-orang terdekat, saudara,
keluarga, teman sejawat, tetangga dan orang-orang yang memiliki ikatan tertentu
dengannya. Sebab rasa dengki itu timbul karena saling ingin mendapatkan satu
tujuan. Dan itu tak akan terjadi pada orang-orang yang saling berjauhan, karena
pada keduanya tidak ada kepentingan yang mengikat satu sama lain.
Bila Hati Bersih dari Rasa Dengki
Kedengkian
bermuara dari hubbud dunya, gandrung terhadap dunia. Baik berupa gila tahta
sehingga ia dengki terhadap siapapun yang sedang memegang suatu posisi jabatan
yang diinginkan. Atau karena ta’azzuz, gila hormat dan merasa diri lebih mulia.
Ia keberatan bila ada orang lain lebih dihormati dari dirinya.
Bagi
orang yang memiliki orientasi akhirat, juga ingin damai hatinya di dunia, tentu
rasa dengki di hati segera dicampakkannya. Karena tak ada untungnya hati
mendengki. Jika ternyata yang kita dengki akhirnya masuk jannah, maka bagaimana
mungkin kita sakit hati dan dengki kepada orang yang ternyata menjadi penghuni
jannah. Jika ternyata yang didengki masuk neraka, buat apa kita kita iri atas
nikmat yang disandang oleh orang yang berakhir dengan pendertaan selamanya.
Seperti yang diungkapkan oleh Muhammad bin Sirin, “Apa untungnya saya mendengki
orang atas sesuatu dari nikmat dunia, jika ia ahli jannah, maka bagaimana saya
akan mendengkinya padahal ia ahli jannah? dan jika ia ahli neraka maka untuk
apa dengki terhadap orang yang bakal masuk neraka?”
Bersihnya
hati dari rasa dengki juga menjadi andalan amal Saad bin Abi Waqas, sehingga
dijanjikan Nabi masuk jannah.
Sahabat
Anas bin Malik RDL bercerita, Ketika kami sedang bermajlis bersama Nabi SAW,
tiba-tiba belia bersabda, “Sekarang, akan muncul di tengah-tengah kalian salah
seorang penghuni jannah.” Tak lama kemudian, seorang Sahabat Anshar di hadapan
para sahabat dengan kondisi jenggotnya mengalirkan air bekas wudhunya, kejadian
itu terjadi sampai tiga hari. Pada hari ketiga, ia diikuti oleh Abdullah bin
Umar ke rumahnya, dengan maksud untuk mengetahui kelebihan amal yang dilakukan
orang itu. Akan tetapi Abdullah bin Umar tidak mendapatkan sesuatu yang
istimewa pada amalan orang itu.Karena penasaran, beliau bertanya tentang amalan
yang menjadi unggulannya. Sahabat Anshar itu menjawab, “Saya tidak memiliki
kelebihan apa-apa selain yang kamu lihat. Hanya saja, tidak ada dalam hatiku
rasa dendam terhadap sesama muslim dan tidak punya rasa iri (hasad) terhadap
sesuatu yang Allah telah berikan kepadanya.”
Allah
juga memuji kelebihan sahabat Anshar yang tidak mendengki atas kaum Muhajirin
yang mendapatkan banyak keistimewaan,
“Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka
terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka
mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka
dalam kesusahan.”
(QS. Al-Hasyr 9)
Para
ulama ahli tafsir menjelaskan, yang dimaksud dengan,
Yakni,
tidak terdapat dalam hati mereka rasa iri dan dengki atas nikmat Allah yang
telah diberikan kepada kaum muhajirin, berupa kedudukan, tingkatan, dan
penyebutan yang mendahulukan Muhajirin ketimbang penyebutan Anshar.
Ya
Allah jagalah hati kami dari sifat iri dan dengki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar