Musuh Jadi Idola



Paradoks. Ketika kita ‘bekoar’ hingga ‘berbusa-busa’ menyebut Yahudi dan Nasrani sebagai musuh, sadar atau tidak, berbagai tradisi, budaya dan gaya hidup mereka kita anut.
“Kalian pasti akan mengikuti tradisi orang-orang sebelum kamu, bahkan jika mereka masuk ke dalam lubang biawak, pasti kalian ikut,” sabda Rasul saw suatu ketika. “(Maksudnya) Yahudi dan Nasrani, wahai Rasulullah!,” tanya para sahabat. Jawab Nabi saw, “Siapa lagi!” Dialog bersejarah ini direkam Imam Bukhori dalam kitab Shahih-nya.


Apa yang terjadi kemudian menjadi bukti kebenaran berita yang disampaikan Nabi saw. Kaum muslimin berlomba-lomba meniru tradisi dan gaya hidup orang-orang Yahudi dan Nasrani di berbagai lapangan kehidupan. Demokrasi, liberalisme, hak asasi manusia, dan seterusnya, adalah jargon-jargon yang biasa diteriakkan oleh para pengikut Barat dalam lapangan politik. Dalam bidang ekonomi, racun ekonomi ribawi yang dikembangkan Yahudi telah menggurita dan membawa ekonomi umat Islam pada lilitan krisis yang bak “lumpur hidup”.


Di lapangan sosial dan budaya, sikap membebek terhadap musuh-musuh Islam terjadi begitu sporadis dan ‘mengerikan’. Gaya hidup (life style) kaum kafir, yang dinahkodai oleh Barat, tersebar melalui film, iklan, majalah, video klip, internet, musik, dan lainnya. Sebagian umat Islam merasa lebih modern jika meniru cara berbusana, menata rambut, berbicara dan bertingkah laku a la Barat. Tak heran jika mereka belomba-lomba menggunakan produk-produk Barat sekaligus mengadopsi gaya hidup konsumeris dan hedonistik. Bagi Barat, keuntungan yang diperoleh menjadi ganda, ekonomi dan budaya sekaligus, karena keduanya memang diprogramkan dalam satu paket.

Hampir semua media dewasa ini mengeksploitasi keindahan tubuh kaum hawa demi keuntungan bisnis dengan dalih “seni” dan “kebebasan wanita”. Produk-produk bisnis seakan tak percaya diri untuk diterima pasar jika tidak menggunakan wanita sebagai iklan. Di saat yang sama, eksploitasi ini membuat kaum perempuan yang semestinya menjadi ibu rumah tangga dan penyangga utama pendidikan dalam basis keluarga, tapi malah berlomba-lomba mengejar karir di luar rumah. Tak perlu heran, jika berbagai persoalan sosial dan keluarga, termasuk eksploitasi seks datang menghadang tanpa bisa diselesaikan.

Televisi nyatanya telah berubah menjadi kebutuhan primer. Biar makan pas-pasan asal punya TV, begitu kata benak banyak orang. Minat untuk menonton film-film yang mengumbar aurat dan hawa nafsu begitu kuat digemari. Kaum muda muslim berusaha dininabobokan dengan slogan “cinta” dan “kebebasan”. Tujuannya agar mereka lupa dengan tugas mereka sebagai muslim, anggota keluarga dan bagian universal dari masyarakat muslim.

Berbagai sajian gaya hidup inilah yang sukses mengalihkan perhatian kaum muda muslim dari hal-hal positif. Film-film Amerika seolah menjadi tontonan mahapenting bagi semua orang jika dibandingkan film ilmu pengetahuan. Info artis dan gosip selebritis seakan menjadi candu bagi sebagian ibu rumah tangga muslim. Akibatnya, para ulama yang semestinya menjadi idola dan panutan malah ditinggalkan. Sebaliknya, artis-artis dan pengumbar aurat yang semestinya diluruskan, justru menjadi anutan dan kiblat gaya hidup umat. Lebih fatal lagi, sebagian orang ingin mencampurkan sajian-sajian agama dengan musik dan hiburan yang mempertontonkan aurat wanita.

Semuanya terjadi begitu cepat. Dengan dalih globalisasi, berbagai gaya hidup ini diperjuangkan lewat semboyan “3 F”, food, fashion and fun (makanan, pakaian dan kesenangan). Tanpa kita sadari, umat Islam kini berada di depan jurang kehancuran eksistensial yang menganga lebar.

Tak ada jalan lain bagi umat Islam kecuali menegaskan arah dan cita hidup. Kegamangan arah dan cita hidup adalah persoalan vital, sebab orang yang biasa bergaul dengan pemikiran dan pergaulan Barat, jelas akan merancang idealisme dan planning hidupnya secara kebarat-baratan. Karenanya, mutlak diperlukan pembekalan tsaqafah (wawasan) Islam yang dibangun di atas akidah yang benar dan menjelma dalam perilaku sehari-hari. Proses pembekalan ini harus dilakukan secara kontinu dan terarah. Pada titik ini, peran keluarga dan sesama remaja muslim sangat dibutuhkan.

Selain itu, diperlukan ketegasan untuk meninggalkan segala tradisi kaum kafir (tasyabbuh bilkuffaar). Rasulullah saw jauh hari sudah memperingatkan, “Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk dalam golongan itu,” (HR Abu Dawud). Karenanya, mengumandangkan perang terhadap tasyabbuh bilkuffaar adalah kewajiban kolektif umat demi menyelamatkan identitas keislaman umat. Pada saat yang sama, upaya merajut identitas diri sebagai masyarakat, muslim yang selaras dengan contoh Rasulullah saw dan para sahabat adalah kewajiban yang tak mungkin ditunda lagi.

Yang tak kalah penting adalah meneguhkan percaya diri (at-tsiqah binnafs). Bagi seorang muslim, percaya diri lahir dari keyakinan yang kokoh pada Allah. Tak seperti “pe-de” yang diyakini banyak orang yang lahir dan bermuara hanya pada individu belaka sehingga membuat pemiliknya terjerembab dalam kesombongan dan pemujaan diri sendiri. “Pe-de” dalam Islam meminta pengakuan dari muslim bahwa segala sesuatu yang ada pada dirinya adalah milik Allah, sehingga harus menunaikannya dengan maksimal pada hal-hal yang diperintahkan Allah. Percaya diri ini dibangun di atas optimisme, kesungguhan dan kerja keras seraya memohon kesuksesan dari Allah SWT.

Selanjutnya, mengisi waktu kosong dan memupus angan-angan palsu. Waktu kosong adalah kesempatan emas bagi syaithan untuk membisikkan angan-angan palsu dan mengajak pada kemunkaran dan kemaksiatan. Memanfaatkan waktu kosong dengan kegiatan-kegiatan positif harus dilatih dan dibiasakan sejak dini. Tanpa pembiasaan yang kontinu, kemalasan akan sangat mudah bercokol dalam hati. Di sini, peran keluarga dan teman-teman se-fikrah (sepemikiran) sangat besar, untuk membantu mengarahkan pada aktivitas-aktivitas positif.

Yang menggelikan, orang-orang yang mengekor budaya Barat dijuluki moderat, akomodatif, modernis, demokrat, toleran, dan berbagai label manis lainnya. Sedang yang menolak disebut fundamentalis dan radikal atau bahkan aneh. Kebebasan dan hak asasi akhirnya terbelenggu. Rasulullah saw pernah menggambarkan fenomena orang-orang aneh dalam hadits yang diriwayatkan Imam Tidmizi. “Berbahagialah orang-orang aneh (al-ghuraba’)”, sabda Nabi saw. “Yaitu orang-orang sesudahku yang melakukan perbaikan ketika manusia rusak dari sunahku.”

Jika melaksanakan Islam secara kaffah (total) malah dilecehkan dan dianggap orang asing, kenapa kita mesti gentar? Akhirnya, “Selamat menjadi orang aneh!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar